Pentingnya Strategi Hadapi Dampak El Nino dan Stop Pemborosan Makanan
Indonesia dihadapkan pada ancaman kekeringan karena fenomena El Nino yang bisa berdampak pada produksi pangan secara nasional
Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Utusan Khusus Presiden (UKP) RI Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Muhamad Mardiono menekankan pentingnya strategi dan antisipasi oleh seluruh elemen masyarakat di tanah air dalam menghadapi dampak El Nino.
El Nino diperkirakan puncaknya akan terjadi pada Agustus-September 2023 dan mengancam ketahanan pangan di Indonesia.
UKP Muhamad Mardiono saat menyampaikan pidato kunci dalam Focus Group Discussion (FGD) Strategi dan Antisipasi Dampak El Nino Terhadap Ketahanan Pangan di Novotel Bogor Golf Resort and Convention Center di Bogor, baru-baru ini mengatakan fenomena El Nino menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan di Indonesia.
Baca juga: Warga Kabupaten Majalengka Mulai Rasakan Dampak Fenomena El Nino
“Kita dihadapkan pada ancaman kekeringan karena fenomena El Nino yang bisa berdampak pada produksi pangan secara nasional. Kemarau panjang dan ekstrem ini harus benar-benar kita antisipasi dengan strategi yang baik,” kata Mardiono.
Jika tidak diantisipasi dan dimitigasi dengan strategi yang baik, kekeringan akan menjadi bencana bahkan mendatangkan dampak ikutan lain seperti gagal panen, krisis air bersih, kebakaran lahan yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan.
El Nino tercatat menurunkan produksi padi di Indonesia antara 1-5 juta ton sejak 1990-2020.
Sejumlah riset yang dilakukan juga menunjukkan hal serupa salah satunya turunnya produksi beras di Banten sejak 2002-2015 akibat fenomena El Nino. Tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mendata realisasi produksi beras pada Februari dan Maret 2023, masing-masing 2,8 juta ton dan 5 juta ton, atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,6 juta ton dan 5 juta ton.
Baca juga: PBB Peringatkan Dunia untuk Bersiap Hadapi Dampak El Nino
“El Nino dan La Nina sebenarnya merupakan fenomena yang sudah jamak terjadi dan BMKG juga sudah memperkirakan Indonesia akan mengalami dengan puncak terekstrem pada Agustus 2023. Oleh karena itu, saya berharap seluruh stakeholder termasuk perguruan tinggi, BRIN, Bapanas, Kementan, dan instansi terkait harus menjadi lokomotif dalam menghadapi fenomena alam ini, mengingat pengaruh El Nino terhadap sektor pertanian bersifat langsung dan nyata,” katanya.
Selain itu, Mardiono menekankan perlunya perhatian khusus, dari instansi terkait dengan mengeluarkan kebijakan berupa perlindungan terhadap para petani, yang mengalami gagal panen, akibat dampak dari iklim ekstrem, karena selain kerugian ekonomi yang sangat dahsyat, kebakaran hutan dan lahan, juga membawa dampak kesehatan yang mengerikan.
Berkaca pada pengalaman yang lalu, kabut asap yang menutupi kota-kota bahkan, mencapai negara tetangga, telah mengakibatkan banyaknya pengungsian, pada rumah-rumah yang menyediakan udara lebih sehat.
Stop Pemborosan Pangan
Terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan, UKP Mardiono juga fokus pada pola budaya konsumsi di masyarakat yang mulai menunjukkan gejala terjadinya pemborosan pangan yakni fenomena food waste dan food loss di Indonesia.
“Saya ingin menyampaikan, data dari UNEP pada 2021, menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan urutan ke-4, terbesar di dunia, setelah China, India, dan Nigeria dengan total sampah makanan mencapai 21 juta ton tiap tahunnya,” katanya.
Bahkan menurut data Bappenas, sampah makanan di Indonesia mencapai 23 sampai 48 juta ton per tahun, atau setara dengan 115 sampai 184 kilogram per orang per tahun. Besarnya sampah makanan berdampak terhadap sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Akibat sampah makanan ini pula, Bappenas memperkirakan negara setidaknya mengalami kerugian ekonomi yang mencapai Rp213 triliun sampai Rp551 triliun per tahun, atau setara dengan 4 sampai 5 persen PDB Indonesia.
Baca juga: Anggota DPR I Made Urip Ingatkan “Pedang Bermata Dua” Dampak El Nino di Indonesia
“Sampah makanan juga menyumbang sekitar 8 sampai 10 persen emisi gas rumah kaca, sehingga saya kira ke depan mendesak ada perubahan budaya masyarakat, melalui kampanye program ‘makan secukupnya’ atau ‘cukup satu porsi’ untuk mengubah perilaku masyarakat, dengan mengambil makanan sedikit, dan dapat menambah makanan sesuai porsinya jika diperlukan,” katanya.
Hal ini semata untuk mencegah terjadinya mubazir pangan yang kemudian menjadi sampah makanan. Kampanye program “belanja dengan bijak” untuk mengurangi stok makanan berjamur dan kadaluarsa juga harus terus dilakukan.
Selain itu diperlukan tempat penyimpanan makanan yang baik, untuk menghindari makanan menjadi basi. Di samping perlu program “berbagi makanan” untuk menghindari kadaluarsa makanan, misalnya bekerja sama dengan pasar modern atau supermarket untuk menyalurkan makanan yang mendekati kadaluarsa. Hal itu tidak lain agar pemborosan makanan bisa ditekan sehingga ketahanan pangan terwujud secara berkualitas di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan riset World Food Programme (WFP) menunjukkan negara dengan kerawanan iklim semakin tinggi cenderung akan menimbulkan kerawanan pangan yang berdampak pada populasi masyarakat dengan gizi kurang (undernourished).
“Indonesia termasuk wilayah dengan kerawanan iklim medium, sehingga diperlukan awareness dan antisipasi untuk mengurangi potensi krisis pangan. Perlu political will dan langkah aksi bersama untuk meningkatkan produksi beras, kedelai, daging lembu, dan gula konsumsi agar dapat memenuhi kebutuhan nasional,” kata Arief.