Indonesia Masih Impor BBM, Komisi VII DPR: Ini Permasalahan Besar
Eddy Soeparno menyebut ketergantungan Indonesia dalam mengimpor bahan bakar minyak sebagai suatu permasalahan yang besar.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menyebut ketergantungan Indonesia dalam mengimpor bahan bakar minyak (BBM) sebagai suatu permasalahan yang besar.
Ia mengatakan, ketergantungan tersebut karena ketidakmampuan negara untuk memenuhi berbagai kebutuhan BBM di dalam negeri.
Menurut Eddy, ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh lifting migas Indonesia yang selalu turun setiap tahunnya.
Baca juga: Industri Otomotif Dukung Implementasi Biodiesel B35, Gaikindo: Bisa Tekan Impor BBM
"Padahal setiap kali kita melakukan pembahasan dengan Kementerian ESDM dengan SKK Migas, selalu yang disampaikan adalah 2030 target lifting migas kita satu juta barel per hari," katanya dalam acara dialog industri di Jakarta Pusat, Senin (31/7/2023).
"Sekarang sudah di bawah 600.000 barel per hari. Target itu direvisi sedikit saja menjadi 615.000 per hari untuk tahun 2024," kata Eddy.
Dalam catatan SKK Migas, realisasi lifting minyak pada kuartal I tahun 2023 mencapai 613,7 ribu barel oil per day (bopd).
Jumlah tersebut setara 92,8 persen dari target 660 ribu barel oil per day. Adapun nilai itu merupakan realisasi per 31 Maret 2023.
Eddy kemudian mengatakan, secara energi Indonesia masih belum berdaulat dan mandiri karena ketergantungan pada impor. Ini yang kemudian ia sebut sebagai permasalahan besar.
Baca juga: Update Harga BBM di SPBU Pertamina, Shell, BP dan Vivo per Senin, 31 Juli 2023
"Dua ketergantungan terbesar yang kita alami saat ini adalah impor energi dan impor pangan. Dua-duanya sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Ini yang membuat kantong kita jebol," ujar Eddy.
Maka dari itu, ia menyebut kebijakan energi yang dimiliki Indonesia secara keseluruhan masih belum tepat pada relnya.
Eddy juga menyinggung permasalahan besar lainnya dalam kebijakan energi RI adalah subsidi BBM yang tak tepat sasaran seperti yang terjadi pada pertalite dan LPG 3 kg.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.