China Kuasai Bisnis Smelter Pengolah Bijih Nikel di Indonesia, Pemerintah Diminta Koreksi Diri
Pengamat ekonomi Fahmy Radhi meminta pemerintah mengoreksi diri karena perusahaan smelter pengolah bijih nikel di Indonesia didominasi oleh China.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi meminta pemerintah mengoreksi diri karena perusahaan smelter pengolah bijih nikel di Indonesia didominasi oleh China.
Adapun mengenai kepemilikan smelter nikel di RI didominasi oleh China pertama kali disinggung oleh ekonom senior Faisal Basri.
Ia mengkritisi kebijakan hilirisasi pemerintah, di mana dalam salah satu poinnya ia menyebutkan hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China.
Fahmy mengatakan, hal tersebut harus menjadi bahan pemerintah mengoreksi diri karena dibutuhkannya keseimbangan antara investor China dan pengusaha lokal.
"Saya setuju Jokowi mulai dulu saja. Larang dulu ekspor bijih nikel, kemudian harus hilirisasi. Kalau kemudian ada dominasi China, nah ini yang harus dikoreksi. Pemerintah juga harus mengoreksi diri bagaimana mencapai suatu keseimbangan di saat investoer smelter tadi (dikuasai China)," katanya ketika dihubungi Tribunnews, dikutip Rabu (16/8/2023).
Ia meminta pemerintah untuk memberikan kesempatan atau dorongan insentif pada para penambang atau pengusaha bijih nikel dalam negeri untuk bisa masuk dalam proyek smelter nikel.
"Harapan saya, para pengusaha di Indonesia, penambang Indonesia itu masuk di smelter. Bisa sendirian, bisa konsorsium, atau kalau misalnya harus dengan investor, ya mereka joint venture. Jangan seperti sekarang (didominasi China). Ini malah membuka karpet buat China," ujar Fahmy.
Ia kemudian menyinggung bagaimana dominasi yang dimiliki China, membuat penguasaha dari negeri Tirai Bambu tersebut membuat mereka bisa menentukan harga jual dengan seenaknya.
Baca juga: Kontraktor China Garap Proyek Smelter Nikel Matte di Kalimantan Timur
Kondisinya saat ini, kata Fahmy, pengusaha China bisa seenaknya menetapkan harga jual dari tambang nikel tersebut.
Sedangkan, para penambang nasional tak punya pilihan lain kecuali menjual ke smelter dan harga yang dipatok kerap di bawah harga keekonomian.
Ia pun mendorong pemerintah bisa mengintervensi dengan membuat aturan harga jual.
"Pemerintah bisa intervensi dengan membuat aturan bahwa apakah harus dijual pada kisaran berapa sampai berapa. Ini saya kira bisa dilakukan sama seperti batu bara misalnya. Asal pemerintah mau, itu bisa dilakukan," kata Fahmy.
Baca juga: Jokowi Sebut Pembangunan Smelter PT AMNT Selesai Pertengahan 2024
"Artinya diversi dulu di smelter tadi, sembari melanjutkan produk turunan lain yang mengarah ke batrai misalnya. Nanti baterai jadi komponen utama dari mobil listrik," lanjutnya.
Maka dari itu, ia pun meminta Presiden Jokowi tidak puas terlebih dahulu dengan capaian Rp 510 Triliun yang didapat Indonesia dari kebijakan hilirisasi nikel, sebab ada ekosistem lebih besar lagi yang harus dibangun.
Debat Panas Jokowi vs Faisal Basri
Perdebatan antara Presiden Joko Widodo dan Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri kian memanas.
Hal ini dimulai dari pandangan Faisal yang menyebut bahwa program hilirisasi nikel yang kini masif digarap Pemerintah, dianggap menguntungkan China dan negara lain.
Namun setelah itu, Presiden Jokowi merespons tudingan Faisal, dan menegaskan hal tersebut salah kaprah.
Menurut Jokowi, kebijakan hilirisasi industri telah mendongkrak nilai ekspor sumber daya alam, salah satunya nikel yang melonjak menjadi Rp 510 triliun setelah pemerintah menyetop ekspor bijih nikel.
Lewat nilai ekspor yang besar itu, pemerintah akan mendapat pemasukan yang besar dari sisi pajak, royalti, bea ekspor, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Jika tidak ada program hilirisasi, komoditas nikel saat diekspor dalam bentuk bahan mentah, kira-kira hanya Rp 17 triliun per tahun.
Presiden pun mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan hilirisasi.
Faisal melalui blog pribadinya faisalbasri.com pun menjawab hitung-hitungan Jokowi dan memaparkan hitungan versi dirinya. Ia menyebut angka-angka yang disampaikan Jokowi soal nilai ekspor kurang jelas dan tidak jelas hitungannya.
"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ucap Faisal dalam Blog pribadinya dikutip, Sabtu (12/8/2023).
Faisal memaparkan, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dollar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp 11.865 per dollar AS.
Kemudian berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dollar AS. Sehingga, dengan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dollar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun.
Dengan penghitungan tersebut, ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) itu sepaham dengan Jokowi bahwa benar adanya lonjakan ekspor yang sangat fantastis dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.
Namun, yang menjadi sorotan Faisal adalah apakah uang hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Hal ini mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.
"Maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," kata dia.
Menurut dia, kondisi itu berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sedangkan untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.
"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ungkapnya.
Ia bilang, jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, berbeda denganperusahaan smelter nikel yang justru bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
Dengan demikian, kata Faisal, penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel, hasilnya nihil. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional
Kementerian Keuangan-lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal)," paparnya.