Raksasa Properti China Evergrande Bangkrut, Pernah Disinggung Jokowi dan Bikin Investor Tahan Duit
Pengumuman bangkrut Evergrande menjadi lambang krisis utang luar biasa di sektor properti negara tirai bambu.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, - Raksasa properti terbesar asal China, Evergrande Group telah resmi dinyatakan bangkrut di Pengadilan New York Amerika Serikat pada Jumat (18/8/2023).
“Perusahaan telah mengajukan kode perlindungan kebangkrutan Bab 15 dan penjadwalan sidang pengakuan kebangkrutan kemungkinan akan dilaksanakan pada 20 September,” jelas sumber tersebut menolak disebutkan namanya.
Pengumuman bangkrut Evergrande menjadi lambang krisis utang luar biasa di sektor properti negara tirai bambu, karena Evergrande menyumbang sekitar 30 persen dari ekonomi negara.
Baca juga: Raksasa properti China Evergrande mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika
Tak hanya itu, kebangkrutan Evergrande juga memiliki dampak negatif bagi sektor perekonomian di tengah lesunya konsumsi domestik dan aktivitas ekspor.
Penyebab Kebangkrutan
Mengutip dari Al Jazeera, kebangkrutan Evergrande telah terendus sejak akhir tahun 2021. Tepatnya usai Evergrande gagal membayarkan tagihan utang sebesar 330 miliar dolar AS lantaran mengalami krisis likuiditas.
Keputusan Pemerintah China untuk menerapkan kebijakan "Tiga Garis Merah" untuk mengekang utang dan memaksa sektor real estate untuk menawarkan diskon properti bagi warga China perlahan membuat Evergrande kesulitan membayarkan bunga pinjaman.
Kondisi tersebut kian diperparah karena perusahaan terus melakukan tata kelola yang buruk seperti menangguhkan pembangunan gedung apartemen baru dan menunda pembayaran vendor atau supplier.
Hal itu membuat para investor murka, hingga Evergrande dilanda krisis modal imbas kehilangan dana pemegang saham senilai 81 miliar dolar AS pada 2021 dan 2022.
Akibat masalah ini Evergrande juga gagal membayarkan enam obligasi yang jatuh tempo tahun depan 2022 dan 10 obligasi jatuh tempo pada 2023.
Pada November 2022, dokumen resmi menunjukkan Evergrande menjual tanah yang dialokasikan untuk kantor pusatnya di pusat teknologi Shenzhen seharga 1 miliar dolar AS.
Kemudian pada awal tahun 2023, perseroan asal China itu meluncurkan rencana restrukturisasi utang yang telah lama ditunggu-tunggu. Tetapi upaya itu belum cukup untuk melunasi utang Evergrande pada kreditur, pemasok, dan investor yang totalnya mencapai 300 miliar dolar AS.
Disinggung Jokowi
Presiden Jokowi beberapa waktu lalu menyinggung kasus gagal bayar Evergrande.
Meski tidak menyebutkan nama perusahaan secara langsung, Presiden menyampaikan bahwa ada perusahaan China yang memiliki utang Rp 4.400 triliun.
"Kita tahu di RRT (China) ada perusahaan properti besar yang ambruk yang utangnya ngalahin APBN kita utangnya sampai Rp 4.400 triliun," kata Jokowi di Grand Ballroom, Hotel Sheraton, Jakarta Selatan, Rabu awal Agustus lalu.
"Jangan ditepok tangani. Utangnya Rp 4.400 triliun. Ada di sini yang utangnya sampai segitu? Sekali lagi hati-hati mengenai hal ini," tambah Jokowi.
Investor Tahan Investasi
Realestat Indonesia (REI) menilai bangkrutnya Evergrande bakal membuat konsumen kelas atas di Indonesia "mengerem" berinvestasi properti.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) REI, Joko Suranto mengatakan, konsumen kelas atas akan cenderung menahan diri.
"Kalau untuk yang (konsumen) atas pastinya tekanannya akan lebih kuat. Mereka kan relatifnya orang yang memiliki kemampuan finansial, mampu menahan diri dan mengevaluasi. Mereka punya pilihan untuk investasi dan sebagainya," katanya kepada Tribunnews, Sabtu (19/8/2023).
Menurut dia, para investor akan lebih menahan diri, menahan dahulu, dan berhati-hati dalam memilih properti beserta pengembangnya.
Baca juga: Anak Usaha China Evergrande Group Bakal Hentikan Produksi EV di Tengah Kekurangan Dana
Hal itu akan memberikan tekanan pada sektor properti di Indonesia. "Sehingga itu semua akan memberikan tekanan, bahasanya adalah akan ada relatif perlambatan," kata Joko.
Sedangkan untuk konsumen menengah ke bawah, ia beranggapan tak akan begitu terpengaruh oleh kebangkrutan yang dialami Evergrande Group.
"Jadi kalau tekanan utamanya kan kalau kita melihat data dari PUPR, di mana backlog yang 12 juta lebih itu terjadi di struktur konsumen yang relasi menengah ke bawah," kata Joko.
"Artinya tingkat kebutuhan rumah untuk rumah pertama ataupun kebutuhan utama itu masih terjaga dan setidaknya itu akan menopang kinerja properti. Itu akan mendukung sisi cash flow developer," lanjutnya.
Secera keseluruhan, Joko melihat dampak dari kebangkrutan Evergrande akan terasa pada sektor properti Tanah Air, tetapi tidak berlangsung lama.
"Ya kalau pengaruh atau dampaknya pasti akan ada, walaupun itu juga akan pendek ya," katanya.
Menurut dia, pengaruh pertama yang akan terasa adalah pada bursa saham, di mana akan mendorong adanya sentimen negatif khususnya untuk saham sektor properti. Lalu, akan berdampak pada bursa secara keseluruhan.
Kedua, pada sektor properti, calon konsumen yang sadar akan kebangkrutan Evergrande Group dinilai akan mendapat tekanan.
"Konsumen yang ngeh dan sebagainya akan lebih hati-hati memilih propertinya, memilih developer-nya," ujar Joko.
Ketiga, Joko mengatakan perbankan juga akan kembali melakukan pemetaan risiko-risiko kreditnya.
"Itu pastinya juga akan sedikit mengambil waktu dan minimumnya akan ada terjadi perlambatan pemberian kredit," katanya,
Meski demikian, Joko kembali menegaskan bahwa dampak dari bangkrutnya Evergrande Group tak akan berlangsung lama.
Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki sturuktur yang berbeda dari sisi perilaku konsumen, sisi pembiayaan, maupun dari sisi kewajiban utang yang tidak sebesar itu.
Pernah Jadi Konglomerat Real Estat Terbesar
Sebelum terlilit utang besar, Evergrande dikenal sebagai perusahaan properti dan real estat ternama di China. Di tahun 2020 Evergrande sukses meraup laba sebanyak 110 miliar dan berhasil memikat investasi dari 1.300 pengembangan di China.
Selain menjajaki usaha di industri real estat, perusahaan yang berbasis di Shenzhen, Guangdong, China, ini juga terlibat dalam kegiatan konstruksi komersial, termasuk kota pameran, hotel resort, museum, dan pusat perbelanjaan.
Evergrande juga turut mengoperasikan rumah sakit internasional kelas atas dengan layanan manajemen kesehatan masyarakat.
Cakupan Evergrande Group lebih luas, membuat Hui Ka Yang pendiri Evergrande dinobatkan sebagai orang terkaya di Asia dengan kekayaan pribadi lebih dari 10 miliar dolar AS.