INDEF: Power Wheeling Berisiko Perberat Beban Fiskal Negara
INDEF menilai implementasi power wheeling yang berisiko menambah beban fiskal negara karena Indonesia sudah oversupply listrik.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti implementasi power wheeling yang berisiko menambah beban fiskal negara karena Indonesia sudah oversupply listrik.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, Abra Talattov mengatakan risiko tersebut muncul jika power wheeling disahkan saat kondisi listrik di Tanah Air mengalami oversupply.
“Jika dihitung, untuk kelebihan listrik 1 Gigawatt (GW) saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payers melalui kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun per GW,” katanya dalam diskusi Publik Pro Kontra Power Wheeling Dalam Rangka RUU EBET yang diselenggarakan oleh Ikatan cendekiawan Muslim Indonesia di Jakarta, Kamis (28/09/2023).
Tidak hanya itu, Abra memaparkan, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
Baca juga: Puluhan Mahasiswa Indonesia Berkesempatan Belajar Teknologi Mobil Listrik di China
Sebagai dampaknya, akan muncul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem.
“Sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 trilin (biaya Take or Pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara.”
Artinya jika diasumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165-192 triliun.
Abra menjelaskan, bahwa tanpa adanya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
“Dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen,” tegas Abra.