Pemerintah Siapkan Insentif untuk Industri Properti, PPN Ditanggung Negara
Pemerintah akan memberikan insentif bagi industri properti dan perumahan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah akan memberikan insentif bagi industri properti dan perumahan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun pemberian insentif ini belum diputuskan karena masih akan dirapatkan lagi bersama jajarannya pada Selasa sore ini.
"Kita nanti akan putuskan. Mungkin PPN (Pajak Pertambahan Nilai) akan ditanggung oleh pemerintah," kata Jokowi dalam sambutannya di acara BNI Investor Daily Summit 2023 di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Jokowi mengatakan insentif tersebut juga akan mencakup penghapusan biaya administrasi untuk pembelian rumah oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
"Untuk perumahan yang MBR, ekonomi di bawah, ini juga akan diberikan bantuan untuk uang administrasi yang 4 juta itu ditanggung oleh pemerintah. Sehingga akan men-trigger ekonomi kita," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan landasan hukum yang mengatur mengenai batasan rumah umum hingga rumah pekerja yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023/PMK.010/2023.
Dengan PMK ini, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan PPN sebesar 11 persen dari harga jual rumah tapak atau antara Rp 16 juta hingga Rp 24 juta untuk setiap unit rumah.
Baca juga: Pasar Properti di Tahun Politik, Potensi Hunian Vertikal Tetap Seksi karena Segmen End User
PMK ini juga mengatur batasan harga jual maksimal rumah tapak yang diberikan pembebasan PPN, yakni menjadi antara Rp 162 juta-Rp 234 juta pada 2023, dan antara Rp 166 juta-Rp 240 juta pada 2024 untuk masing-masing zona.
Pada aturan sebelumnya, batasan maksimal harga rumah tapak yang dibebaskan PPN adalah antara Rp 150,5 juta-Rp 219 juta.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, kenaikan batasan itu mengikuti kenaikan rata-rata biaya kontruksi sebesar 2,7 persen per tahun berdasarkan Indeks Harga Perdagangan Besar.
Baca juga: Perbankan dan Pengembang Properti Genjot Pembiayaan KPR Non Subsidi
Menurut dia, sejak berlakunya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada 2010 lalu, sudah lebih dari 2 juta masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang mendapatkan rumah subsidi.
"Pembaruan fasilitas Pembebasan PPN ini menjadi instrumen pemerintah untuk menambah lagi jumlah rumah yang disubsidi, sehingga lebih banyak masyarakat yang dapat membeli rumah layak huni dengan harga terjangkau," katanya.
Menurut dia, fasilitas pembebasan PPN itu ditujukan untuk mendukung penyediaan setidaknya 230.000 unit rumah untuk MBR yang ditargetkan oleh pemerintah.
Terbitnya PMK itu juga bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan rumah, meningkatkan akses pembiayaan bagi MBR, menjaga keterjangkauan rumah yang layak huni, serta menjaga keberlanjutan program dan fiskal.
Komitmen itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan peningkatan akses rumah layak huni dari 58,75 persen menjadi 70 persen.
"Selain itu, fasilitas pembebasan PPN ini juga akan berdampak positif pada perekonomian nasional, termasuk terhadap investasi industri properti dan industri pendukungnya, penciptaan lapangan pekerjaan, dan peningkatan konsumsi masyarakat," jelasnya.