Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Jakarta Darurat Polusi Udara, Pengamat: BBM Ramah Lingkungan Jangan Sekadar Wacana

Pengamat Energi Muhammad Badaruddin menilai, pengembangan bahan bakar minyak ramah lingkungan sudah seharusnya diimplementasikan sesegera mungkin

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Jakarta Darurat Polusi Udara, Pengamat: BBM Ramah Lingkungan Jangan Sekadar Wacana
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pemandangan gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Energi Muhammad Badaruddin menilai, pengembangan bahan bakar minyak ramah lingkungan sudah seharusnya diimplementasikan sesegera mungkin mengingat buruknya kualitas udara di Jakarta.

Berdasarkan data IQAir, sejak awal November, Indeks Kualitas Udara (AQI) berada pada kisaran 120-169. Padahal,
tingkat udara sehat berada pada tingkat AQI 0-50.

Bahkan, tingkat polusi di Jakarta sempat menempati peringkat ke-1 terburuk di dunia pada bulan Agustus dan September 2023 dan sampai sekarang masih menempati peringkat teratas dengan kualtitas udara terburuk di dunia.

Baca juga: Waspada Dampak Polusi Udara! Ternyata Bisa Tingkatkan Risiko Stunting

"Adapun polusi udara terburuk di dunia hari ini berada di Kolkata India (US AQI 303), Dhaka Bangladesh (US AQI 223), Karachi Pakistan (US AQI 198), Ulaanbatar Mongolia (US AQI 169), dan Jakarta Indonesia (US AQI 168)," ungkap pria yang karib disapa Badar di Jakarta, Rabu (13/12/2023),

Menurutnya, kerugian yang muncul dari buruknya kualitas udara di Jakarta sangat kompleks.

"Dari sisi ekonomi, di tahun 2023 pula, perhitungan IQAir diperkirakan memunculkan kerugian sebesar 3.2 milyar USD atau setara Rp 50 triliun. Tidak hanya kerugian ekonomi, tapi juga ancaman kematian. Berdasarkan perhitungan IQAir, di tahun 2023, polusi udara di Jakarta telah menyebabkan 12.000 kematian," tutur Dosen di Universitas Bakrie ini.

BERITA REKOMENDASI

Badar mengungkapkan, di antara faktor penyebab polusi akut di Jakarta adalah polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Vital Statistic DKI Jakarta, penyumbang terbesar polusi udara yang saat ini menghantui Jakarta adalah berasal dari sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik.

Dari catatan Kemenko Marves, secara fundamental, polusi udara datang dari pembakaran bahan bakar kendaraan yang tidak sempurna.

Tercatat, ada sekitar 40-an juta kendaraan bermotor yang lalu lalang di DKI Jakarta.

"Begitu pula dengan studi yang dilakukan oleh Jakarta Rendah Emisi mengonfirmasi bahwa sektor transportasi menyumbang 67 persen emisi particulate matter (PM) 2.5, 58 persen emisi PM10, dan 84% emisi Karbon Hitam pada tahun 2019, dengan sumber utamanya adalah kendaraan berat," tukas Badar.

Baca juga: Enam Masalah Kulit yang Bisa Muncul Akibat Paparan Polusi dan Sinar Matahari


Kebijakan uji emisi kendaraan bermotor bisa menjadi quick action yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi pencemaran udara.

Mensosialisasikan pentingnya menggunakan BBM yang sesuai dengan spesifikasi mesin, juga bisa menjadi solusi yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat.

Karena, industri otomotif di Indonesia sudah memproduksi mobil mesin bensin dengan standar Euro 4 sejak 2018.

Sedangkan untuk mesin diesel dimulai sejak April 2022.

Kemudian, menyediakan BBM berkualitas untuk mendorong penurunan emisi dan memperbaiki kualitas udara adalah penting.

Saat ini masih ada beberapa jenis bahan bakar yang tidak memenuhi standar Euro 4.

Tingginya harga kendaraan listrik dan budaya masyarakat kita yang masih sangat menggandrungi kendaraan berbasis BBM sehingga Bioetanol yang sedang direncanakan juga semestinya perlu dikaji kembali.

Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto mendorong pengembangan biofuel di Indonesia.

Bahan bakar nabati tidak hanya dari produk minyak sawit atau CPO seperti biodiesel, bioavtur, dan HVO, tetapi juga produk non-CPO seperti bioetanol.

Airlangga menjelaskan, pengembangan bahan bakar tersebut juga untuk memfasilitasi pembangunan berkelanjutan dan mendorong praktik ramah lingkungan.

Selain itu, meningkatkan kesejahteraan sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia maupun kawasan ASEAN.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas