Peran Mulia Industri Tahu Desa Sambak, Tulang Punggung Ekonomi Sekaligus Wujudkan Kemandirian Energi
Meski berada di lereng Gunung Sumbing, tahu Sambak sehari-hari dijual hingga ke Kota Magelang, Kabupaten Temanggung hingga Banjarnegara.
Penulis: Imam Saputro
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Hawa panas dari tungku besar untuk perebusan kedelai mulai terasa ketika memasuki dapur produksi perajin tahu di Desa Sambak, Magelang.
Bau khas kedelai yang direbus bercampur dengan bau gurih tahu yang tengah digoreng dalam wajan berukuran besar mengisi ruangan produksi berjenama Tahu Sambak ini.
“Kebanyakan di sini dijualnya tahu goreng, jadi sudah matang, yang cokelat, yang kukus atau tahu putih juga ada,” kata Ketua Kluster Tahu Desa Sambak, Muhammad Kurniadi, Senin, 15 April 2024.
Adi, begitu ia biasa disapa mengatakan ada 13 perajin tahu di Desa Sambak yang eksis di Desa Sambak hingga sekarang.
“Cuma ini karena masih lebaran, jadi belum full, kalau sudah normal biasanya sehari total bisa sekitar 1 ton tahu outputnya,” kata Kurniadi.
Dari 10 dusun di Desa Sambak, industri tahu bisa dikatakan terpusat di Dusun Sindon dengan adanya 10 pabrik di satu dusun.
“Ya bisa dikatakan pusatnya disini, tapi yang kerja tidak hanya dari Sindon saja, jadi industri ini jadi satu di antara tulang punggung perekonomian desa,” kata dia.
Perajin tahu mulai bermunculan di Desa Sambak sejak sebelum tahun 2000an kemudian berkembang pesat hingga sekarang ada 13 perajin atau pabrik tahu.
“Kalau orang bilang tahu Sambak itu enak karena tahunya putih bersih, kenyal, tidak bau dan gurih, salah satu faktornya karena air tanah di sini bagus,” terang Adi.
Faktor air tanah, kata Adi, sangat menentukan dalam produksi tahu, sehingga adanya air tanah yang berkualitas sangat mempengaruhi larisnya tahu Sambak.
Meski berada di lereng Gunung Sumbing, tahu Sambak sehari-hari dijual hingga ke Kota Magelang, Kabupaten Temanggung hingga Banjarnegara yang berjarak lebih dari 80 km dari Desa Sambak.
Seimbangkan geliat ekonomi dengan alam lestari
Namun di balik gurihnya industri tahu yang menghidupi warga Desa Sambak, ada masalah lain yang mengintai beberapa tahun setelah industri tahu berkembang,
“Tahun 2013 itu mulai muncul protes dari petani karena air dari tahu ini kan bau, dan pernah berefek ke padi yang gagal panen,” jelas Adi.
Industri tahu menghasilkan setidaknya dua limbah, yakni limbah ampas tahu dan limbah cair.
“Ampas atau limbah padat dimanfaatkan untuk pembuatan tempe gembus dan pakan ternak, jadi limbah yang padat sebenarnya tidak ada masalah,” terang Adi.
Yang menjadi masalah pada tahun 2013 adalah limbah cair yang dibuang ke aliran sungai di sekitar desa.
Dampaknya, di desa yang terdiri atas delapan dusun ini sering tercium aroma tidak sedap efek pembuangan limbah cair tahu setiap sore dan pagi hari.
“Kalau musim kemarau itu baunya lumayan, tapi yang sangat mengganggu ke pertanian yang berefek padi tidak berisi atau gabuk,” terang Adi.
“Dahulu karena limbah cair tahu masih dibuang ke sungai, ada masa terparah sampai panen padi jadi gagal karena bulirnya kosong, makanya 2013 mulai berpikir bagaimana caranya biar perajin tahu tetap bisa jalan, dan petani padi juga tetap bisa jalan,” kata dia.
Hal itu menjadi ironi, sebab larisnya tahu sambak “dibantu” dengan adanya air tanah yang berkualitas, namun industri tahu yang makin berkembang justru mencemari air di desa yang terletak di lereng Gunung Sumbing ini.
“Kami dengan pemerintah desa akhirnya berembuk dan ketemu solusi membangun digester di beberapa titik,” ungkap Adi.
Digester adalah penampungan bahan-bahan organik dan atau limbah kotoran ternak untuk membentuk biogas yang bersifat anaerob.
“Mulai 2015 mulai membangun digester atau penampungan limbah cair dari industri tahu, desa dapat bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup, sekaligus dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah),” kata Kepala Desa Sambak, Dahlan.
Manfaatkan limbah untuk biogas
Pengelolaan limbah cair tahu itu mendapatkan perhatian dari banyak pihak, hingga Desa Sambak kini memiliki enam digester untuk menampung limbah cair dari 13 perajin tahu.
“Enam digester itu, tiga digester kami gandengkan dengan IPAL jadi hasilnya air bersih yang dibuang ke sungai, yang tiga digester kami manfaatkan untuk Biogas,” tambah Dahlan yang menjabat kepala desa sudah 3 periode ini.
Dahlan mengatakan keenam digester di Desa Sambak merupakan kolaborasi dari berbagai pihak, dari Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 3 digester, Dinas Lingkungan Hidup 1 digester, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia 1 digester dan 1 digester dibangun dari dana desa.
“Hingga tahun 2024 ini enam digester masih bisa menampung limbah cair dari industri tahu Sambak, 3 dengan pengolahan limbah jadi air yang bersih, dan sisanya kami buat sistem biogas,” beber Dahlan.
Sistem biogas di Desa Sambak kini mampu “menyalakan” kompor 88 kepala keluarga (KK) di Desa Sambak.
Kepala Dusun (Kadus) Sindon Suryadi menambahkan biogas dari limbah cair tahu tidak menimbulkan bau yang tidak sedap ketika digunakan untuk memasak.
"Apinya juga biru, tidak ada bau limbahnya sama sekali," ujarnya.
Menurutnya, biogas limbah tahu ini bisa memangkas pengeluaran rumah tangganya untuk membeli gas melon.
"Biasanya sebulan beli 3 tabung gas melon, ketika sudah memanfaatkan biogas ini paling beli 1 tabung saja sebulan belum tentu habis, " ujarnya.
Belum meratanya sistem biogas ke seluruh warga desa disebabkan limbah tahu yang digunakan untuk biogas masih kurang.
“Masih terus pengembangan ya, sementara baru 88 KK, dulu bingung membuang limbah, sekarang malah kurang limbah, karena biogas dari 3 digester itu baru cukup untuk 88 KK tadi, kalau mau seluruh desa, limbahnya malah kurang banyak,” ujar Dahlan sambil tersenyum.
“Tapi sudah bisa dikatakan masalah limbah sudah teratasi, jadi ekonomi perajin tahu tetap ada, limbah jadi energi untuk kebutuhan sehari-hari, kami harapannya bisa ke semua warga desa sistem biogasnya,” tambah Dahlan.
Adapun warga desa yang memanfaatkan biogas ditarik iuran sebesar Rp15.000/bulan.
“Dana iuran itu yang kami gunakan untuk memelihara pipa, digester juga beberapa ada yang kami renovasi beberapa tahun lalu, tanpa ambil uang dari desa, sehingga sudah jalan sistemnya, sudah mandiri,” ungkap Dahlan.
"Rencana ke depan kami inginnya semua warga bisa pakai biogas, tapi ya tadi, limbah cairnya belum bisa mengimbangi," tambah Dahlan.
Pengelolaan limbah cair industri tahu Sambak mengantarkan Desa Sambak diganjar beberapa penghargaan, di antarnya desa Program Kampung Iklim (Proklim) Lestari tingkat Nasional pada 18 Oktober 2021.
Pasca mendapatkan banyak penghargaan, Desa Sambak kerap menjadi tujuan untuk studi banding dari berbagai desa di Indonesia.
“Edukasi yang pertama pengolahan limbah cair tahu hingga sekarang kami bisa mandiri secara energi, yang kedua tentang pengelolaan hutan negara di Bukit Potorono,” kata dia.
Potensi Biogas Jawa Tengah
Manager Program Sustainable Energy Access dari lembaga Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum mengatakan, menilik dari kegiatan usaha peternakan, pembuatan makanan yang limbahnya memiliki potensi biogas seperti tahu dan tempe, beberapa kabupaten di Jawa Tengah bisa menjadi lokus pengembangan biogas khususnya yang memiliki banyak sektor usaha tersebut.
Penyediaan teknologi digester saat ini juga cukup terbuka, karena tidak perlu "alat” khusus melainkan desain tangki dan perpipaan yang sesuai, jadi bisa dilakukan secara mandiri.
Pembangunannya juga bisa dilakukan gotong royong atau komunal. "Lembaga pembiayaan bisa membantu percepatannya dengan menyediakan skema pembiayaan ringan atau khusus sehingga lebih mudah diakses masyarakat," paparnya kepada Tribunnews.com, Jumat (18/8/2023) lalu.
Khusus biogas kotoran ternak, lanjut Citra, pemanfaatan biogas jenis tersebut sama halnya seperti energi dari bahan bakar lain, bahan baku diperlukan terus menerus untuk memastikan sumber energi (berupa gas) dihasilkan secara kontinyu.
Citra dalam studi IESR melalui buku Akses Energi Bersih dan Pengaruhnya pada Kewirausahaan Perempuan mengungkapkan, penggunaan biogas menciptakan lingkungan memasak yang nyaman dan bersih bagi perempuan.
Selain itu, biogas yang menghasilkan bioslurry dapat dimanfaatkan oleh para petani untuk menyuburkan tanah mereka menjadi lebih gembur dan mereka dapat mengurangi pembelian pupuk kimia.
"Penggunaan biogas tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan, namun juga mendorong terjadinya proses transformasi sosial, termasuk upaya untuk menguatkan kapasitas dan hak kelompok perempuan," tulisnya dalam studi tersebut.
Terpisah Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan Dinas ESDM Jateng, Eni Lestari mengatakan, penggarapan potensi biogas sudah hampir di lakukan di semua kabupaten kota di Jawa Tengah.
Hanya saja, pihaknya masih akan melakukan penelusuran terhadap potensi lainnya semisal ada yang belum tergarap.
"Kepanjangan tangan kami yang berada di daerah sudah menelusuri potensi biogas terutama di peternakan sapi. Bisa saja ada potensi yang belum kegarap, misal ada informasikan saja nanti kita survei baru nanti diusulkan dibangunkan biogas misal masuk kategori layak," kata dia.
Ia menambahkan, potensi energi biogas sebagai energi ramah lingkungan dapat diandalkan dalam mendukung program pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Dikutip dari laman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan kontribusi biogas pada bauran energi nasional sebesar 489,8 juta m3 pada tahun 2025.
Data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM mencatat bahwa pada 2022, total implementasi biogas mencapai 47,72 juta meter kubik yang berasal dari 52.113 unit fasilitas biogas, baik untuk rumah tangga, komunal, maupun industri.
"Target Roadmap EBT negara kita sampai tahun 2050 sehingga generasi sekarang perlu dikenalkan energi alternatif termasuk biogas," tutupnya.