Bahlil Minta Freeport Indonesia Bangun Smelter di Timika
saat ini pemerintah Indonesia juga tengah mendorong PTFI untuk membangun smelter di Timika, Papua Tengah, dekat dengan tambang Freeport.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan bahwa smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) bernilai investasi US$ 3 miliar di Gresik, Jawa Timur mulai beroperasi 1 Juli 2024.
Smelter ini akan mengolah konsentrat tembaga dari Timika.
"Dalam satu tahun, pabrik ini akan menghasilkan 60 ton emas murni, 400.000 ton katoda tembaga, dan berbagai produk turunan lainnya,” ujar Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam siaran pers yang diterima Kontan, Sabtu (1/6/2024).
Baca juga: Presiden Jokowi Terbitkan Aturan Baru, Karpet Merah untuk Freeport Indonesia?
Bahlil melanjutkan, saat ini pemerintah Indonesia juga tengah mendorong PTFI untuk membangun smelter di Timika, Papua Tengah, dekat dengan tambang Freeport.
Permintaan ini beriringan dengan rencana pemerintah yang akan menambah jumlah saham milik Indonesia di PTFI menjadi 61 persen pada tahun 2041 mendatang.
Saat ini, pemerintah sedang menunggu kepastian regulasi untuk memproses akuisisi 10% saham PTFI.
“Sekarang kan kita 51%. Pemerintah ingin Indonesia harus jadi mayoritas lagi, negosiasinya sudah selesai dan Freeport setuju untuk penambahan saham 10% pada 2041 ke atas,” ungkap dia.
Menurut Bahlil, pembangunan smelter dan proses divestasi saham Freeport Indonesia merupakan bagian dari program hilirisasi pemerintah yang merupakan salah satu strategi investasi yang dilakukan oleh negara untuk menciptakan lapangan pekerjaan pada masa mendatang.
Ditambah lagi, Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi pada 2035 yang mana 65% penduduknya berada di usia produktif.
“Karena itu pemerintah harus mendesain dari sekarang agar Indonesia tidak menjadi negara konsumtif,” imbuhnya.
Baca juga: PGN Pasok Gas Bumi ke Smelter Tembaga Terbesar di Dunia Milik Freeport Indonesia
Bahlil memberikan contoh, cadangan nikel Indonesia mencapai 25% dari total cadangan nikel dunia, sehingga pemerintah memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih nikel pada tahun 2019. Kebijakan tersebut berhasil memberikan nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia.
Nilai ekspor bijih nikel hanya US$ 3,3 miliar pada 2017. Begitu ekspor bahan baku dihentikan, pemerintah membangun industrinya, termasuk pabriknya di Indonesia. Alhasil, ekspor produk olahan nikel melesat menjadi US$ 33,5 miliar pada 2023 atau hampir sebesar Rp 500 triliun.
Lebih lanjut, Bahlil mengaku, banyak negara maju yang tidak senang atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel. Bahkan, Indonesia sempat digugat oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait kebijakan tersebut.
“Mereka takut negara Indonesia kuat dan saya masih yakin bahwa ada sebagian negara lain yang tidak ingin Indonesia berdaulat dalam mengelola kekayaannya sendiri,” pungkas dia.(Kontan)