DPR Ingatkan soal Regulasi Berbasis FCTC yang Mengancam Tenaga Kerja Pertembakauan
Misbakhun menilai, selama ini tembakau selalu dijadikan komoditas yang dianaktirikan disaat negara mendapatkan banyak manfaat dari sektor ini
Penulis: Sanusi
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali tekankan soal kuatnya kepentingan organisasi raksasa dalam rezim kesehatan internasional atau asing yang akan mengancam keberadaan budaya tembakau di Indonesia.
Hal ini tercermin dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang bersumber dari rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Baca juga: Larangan Iklan Produk Tembakau di Kawasan Pendidikan Dinilai Sulit Dijalankan, Ini Alasannya
Padahal, Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi FCTC. Di samping itu, negara-negara lainnya juga tidak memiliki pertanian maupun tenaga kerja tembakau seperti di Tanah Air. Diketahui, salah satu ketentuan RPMK yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan RI ini mendorong penerapan kemasan rokok polos tanpa merek untuk diberlakukan di Indonesia.
Anggota DPR Komisi XI Fraksi Partai Golkar DPR RI Misbakhun mengakui adanya kegagalan dalam menyampaikan pentingnya isu tembakau terhadap kepentingan nasional. Pengaturan sepihak tersebut seakan hanya memandang pengaturan tembakau dari pertimbangan isu kesehatan semata.
Misbakhun menyoroti aspek pertimbangan lain yang substansial dalam industri hasil tembakau, seperti penghidupan petani dan pekerja yang ikut mendorong agrikultur dan ekosistem pertanian yang kuat, yang sayangnya masih belum disoroti sepenuhnya oleh negara.
Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Penting untuk Tekan Angka Konsumsi dan Dampak Efek Negatif
“Kita selama ini ikut dalam sebuah frame besar yang membicarakan isu tembakau itu seolah hanya (soal) kesehatan semata. Ada isu kesehatan, iya. Tapi tidak boleh kemudian dia menjadi dominan menekan sektor pertembakauan ini. Inilah mengapa saya anggap kita gagal melakukan konsolidasi soal pertembakauan,” ungkap Misbakhun dalam Halaqah Nasional Masyarakat Sipil Dan Pemerintah "Telaah Kritis RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik" di Jakarta belum lama ini.
Misbakhun menilai, selama ini tembakau selalu dijadikan komoditas yang dianaktirikan disaat negara mendapatkan banyak manfaat dari sektor ini. Semestinya, negara melindungi tembakau dan kembali pada kepentingan nasional yang fokus pada tembakau sebagai komoditas utama nasional.
Misbakhun menekankan juga adanya intervensi asing dan organisasi anti tembakau yang ingin menekan sektor tembakau melalui regulasi kesehatan seperti PP 28/2024 dan RPMK.
“Dengan isu yang dibawa melalui PP 28/2024, itu kita sudah kocar-kacir. Padahal, kalau menurut saya PP 28 ini jelas sekali adalah konsolidasi kelompok anti tembakau dan intervensi asing yang ingin menyampaikan bahwa tembakau itu hanya berkaitan dengan kesehatan semata. Inilah yang perlu menjadi perhatian kita,” tegasnya.
Melalui diskusi ini, Misbakhun tekankan masa depan industri hasil tembakau yang boleh dikatakan menjadi satu-satunya industri nasional yang tersisa di tengah gempuran intervensi asing. Maka dari itu, Misbakhun ingatkan kembali negara harus hadir dalam regulasi yang rasional dari tata cara dan mekanisme penyusunan UU. Karena jika PP 28/2024 dan RPMK semua proporsinya hanya menyangkut kesehatan, maka imbasnya akan terjadi pada industri yang mengalami kontraksi.
Dia berpesan bahwa pemerintah harus adil, di mana stakeholder dalam komoditas tembakau ini juga harus ditempatkan dalam proporsi yang objektif, tidak hanya melihat tembakau dengan single issue soal kesehatan sebagai alasan. “Karena ada peran tembakau yang luar biasa, ada hak buruh, petani, dan lainnya yang harus dijaga dan dilindungi nasibnya karena melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah amanat konstitusi,” pungkasnya.
Baca juga: DPR Desak Kemenkes Tinjau Ulang PP 28/2024 dan RPMK soal Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
Melihat sisi tatanan hukum, Pakar Hukum Universitas Trisakti Ali Rido menggarisbawahi adanya intervensi asing yang menjadikan proses dan konteks dari regulasi pertembakauan menjadi rancu. “Jadinya kita ragu apakah sebenarnya kita sudah berdaulat dari aspek hukum atau tidak. Makanya kami masih coba uji juga dalam RPMK ini bagaimana,” imbuhnya.
Ali menjelaskan ruang lingkup materi dari RPMK sudah cukup jauh melenceng dari aturan di atasnya yaitu PP 28/2024. Sehingga jika Kemenkes ingin membuat aturan teknis turunan, maka sudah semestinya mengacu pada PP 28/2024. Namun, RPMK malah mendorong ketentuan pengaturan yang meluas dan semakin ketat, melebihi aturan acuannya.
Berdasarkan aturan ini, Ali melihat adanya perluasan substansi yang tidak tercantum di PP 28/2024 namun sengaja dibuat di RPMK. Salah satu aturan yang menjadi rancu di RPMK adalah terkait standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tidak menemukan titik terang dengan rencana aslinya. Hal ini menunjukkan bahwa RPMK ini memiliki banyak penjelasan yang tidak efektif dan juga tidak efisien untuk dijalankan.
“Poin saya yang terakhir itu, RPMK itu adalah hegemoni. Ini perlu diformulasi agar sebelum disahkan bisa mengakomodir berbagai aspek mengenai perundang-undangan. Jadi mudah-mudahan ini pandangan yang murni dari aspek hukum agar objektivitasnya bisa diuji,” jelasnya.