Pakar Hukum UI: PP 28/2024 dan RPMK Abaikan Partisipasi Publik
Akademisi/pengamat, para politisi DPR RI, termasuk ekosistem pertembakauan memprotes aturan tersebut yang minim pelibatan publik.
Penulis: Yulis
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Terbitnya Peraturan Pemerintah PP Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang disusun dengan metode omnibus dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai kontroversi.
Berbagai kalangan, diantaranya pihak akademisi/pengamat, para politisi DPR RI, termasuk ekosistem pertembakauan memprotes aturan tersebut yang minim pelibatan publik.
Ahli Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Dr Fitriani A Sjarif berpandangan, minimnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan yang menggunakan metode omnibus ini tentunya akan menuai kontroversi.
Baca juga: Cukai Rokok Batal Naik di Tahun 2025, RPMK Masih jadi Sorotan
"Kebijakan ini tidak sejalan dengan hukum yang sudah ada untuk menjamin partisipasi publik (meaningful participation) dalam penyusunan peraturan," kata Fitriani dalam sebuah diskusi di kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Ia menambahkan, dalam proses penyusunan aturan, penting untuk memastikan bahwa masyarakat diberikan kesempatan untuk didengarkan dan memberikan masukannya. Penyusunan peraturan menggunakan metode omnibus menggabungkan banyak topik dalam satu peraturan dengan ribuan pasal.
"Proses pembahasan yang terburu-buru dan tidak transparan akan semakin menyulitkan pemangku kepentingan untuk terlibat, sehingga kualitas substansi peraturan yang dihasilkan kurang baik dan sulit diimplementasikan di lapangan,” ujarnya.
Fitriani mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan metode omnibus dalam penyusunan peraturan dan belajar dari pengalaman negara lain. Dengan begitu, harapannya dapat tercipta regulasi yang baik dan berimbang tanpa mendiskriminasi sejumlah pihak.
Lebih lanjut dikatakan Fitriani, dalam UU 12/2011, Indonesia menganut penyusunan peraturan dengan metode single subject rule, di mana satu peraturan akan fokus mengatur topik yang sama. Indonesia mulai menerapkan metode omnibus beberapa tahun terakhir, yang diawali dengan penyusunan UU Cipta Kerja.
"Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat yang lebih dulu menerapkan metode omnibus yang hanya membolehkan metode omnibus jika peraturan yang disusun memiliki tema yang sama, atau bisa dibilang omnibus law dengan pendekatan single subject rule,” katanya.
Salah satu aturan terbaru yang tengah dirancang oleh Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek melalui RPMK. Draft kebijakan tersebut dinilai paling berpotensi mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau. Kekhawatiran utamanya adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal.
Baca juga: Serikat Buruh Rokok dan Minuman Tolak Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Akan Turun ke Jalan
Kemasan yang seragam berpotensi menyulitkan konsumen untuk membedakan produk legal dan ilegal. Bahkan penerapan kemasan rokok polos tanpa merek juga bertentangan dengan regulasi seperti UU tentang Hak Cipta, Merek, maupun Perlindungan Konsumen.
Praktisi Kesehatan Publik sekaligus Pakar K3, dr Felosofa Fitriya menyoroti peran penting edukasi dan sosialisasi dalam menekan prevalensi konsumsi rokok masyarakat.
"Tidak seharusnya produk tembakau dan rokok elektronik dipasarkan dalam kemasan polos tanpa merek. Hal ini akan menimbulkan kebingungan pada konsumen untuk membedakan produk," kata Felosofa.
dr. Felosofa yang juga pakar K3 mengatakan, gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kedua jenis produk ini perlu dibedakan. Namun, kemasan polos tanpa merek seharusnya tidak diberlakukan pada produk tembakau maupun rokok elektronik, untuk tetap melindungi konsumen dan memastikan mereka dapat memilih sesuai profil risikonya.
“Sebaiknya kemasan ini dibedakan sesuai profil risikonya yang diharapkan perilaku perokok berubah ke yang rendah risiko. Kalau semua produk tembakau dan rokok elektronik kemasannya disamakan, bagaimana cara membedakannya? Karena jika dibedakan, ini akan meningkatkan kesadaran perokok untuk memilih produk,” beber dia.