Harga Minyak Dunia Meroket ke Level 73,17 Dolar per Barel, Ini Penyebabnya
Harga minyak mentah West Texas Intermediate AS yang melesat 16 sen, atau 0,2 persen, menjadi 68,88 dolar AS, Jumat (29/11/2024).
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak dunia di perdagangan pasar global melonjak naik pada di tengah memanasnya konflik antara Israel dan kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.
Mengutip data Reuters, harga minyak mentah Brent naik tipis 34 sen, atau 0,5 persen, menjadi 73,17 dolar AS per barel.
Disusul kenaikan harga minyak mentah West Texas Intermediate AS yang melesat 16 sen, atau 0,2 persen, menjadi 68,88 dolar AS, Jumat (29/11/2024).
Adapun lonjakan harga minyak terjadi setelah tensi geopolitik di Timur Tengah meningkat pasca pihak militer Israel dituding melakukan melanggar perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sejak Rabu (27/11/2024).
Baca juga: Harga Minyak Dunia Memanas, Melonjak ke Level Tertinggi Buntut Perang Rusia
Tudingan tersebut dilontarkan Hassan Fadlallah, anggota parlemen Hizbullah di Lebanon.
Dalam laporannya ia menyatakan bahwa pasukan IDF telah menembaki warga sipil Lebanon di tiga lokasi lain di dekat perbatasan, termasuk diantaranya di Baysariyah, sebelah utara Sungai Litani yang telah diumumkan militer Israel sebagai zona terlarang di sepanjang perbatasan, bahkan setelah kesepakatan itu disetujui.
Kantor Berita Nasional milik pemerintah Lebanon mengatakan dua orang terluka oleh tembakan Israel di Markaba dekat perbatasan imbas serangan Israel.
Sementara itu merespon tudingan yang dilontarkan Hizbullah, militer Israel mengatakan dalam pernyataannya bahwa mereka melakukan serangan karena mengidentifikasi beberapa aktivitas mencurigakan yang menimbulkan ancaman.
Ketegangan ini yang mendorong investor melakukan wait and see, lantaran Timur Tengah adalah salah satu wilayah penghasil minyak utama dunia, apabila konflik terus berlanjut maka pasokan minyak dunia berpotensi terancam, memicu premi risiko bagi para pedagang.
Sementara itu, OPEC+, yang terdiri dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, mengumumkan penundaan peningkatan produksi minyak yang dijadwalkan pada bulan Januari.
Penundaan dilakukan dengan dalih untuk menghindari konflik dengan acara lain. Kelompok OPEC diketahui menghasilkan sekitar setengah dari produksi minyak dunia, sebelumnya OPEC berencana secara bertahap melonggarkan pengurangan produksi hingga 2024 dan 2025.
Namun, lemahnya permintaan global dan meningkatnya produksi di luar OPEC+ membuat rencana tersebut diragukan. Keputusan akhir akan diambil pada pertemuan 1 Desember 2024. Memicu kekhawatiran atas lambatnya permintaan, yang membebani harga minyak dalam beberapa bulan terakhir.
"Sangat tidak mungkin mereka akan mengumumkan peningkatan produksi pada pertemuan ini," kata Analis Rory Johnston di Commodity Context.