Harga Gabah Jauhi HPP, Hanya Dipatok Rp5.200 per Kg, Peran Penyerapan Bulog di Petani Dipertanyakan
Sampai saat ini, serapan Bulog belum maksimal dan belum mengacu pada HPP yang sudah diterapkan.
Editor: Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perum Bulog diminta mengoptimalkan perannya dalam melakukan penyerapan gabah di tingkat petani, di mana harganya saat ini anjlok di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, per kilogramnya mencapai Rp 5.200 - Rp 5.300 per kilogram (kg), jauh dari HPP sebesar Rp 6 ribu per kg.
Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perbadan 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dengan kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen, dibanderol sebesar Rp 6 ribu per kg.
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menyampaikan, penurunan harga gabah sebelum panen raya merupakan suatu anomali karena sebelum panen raya biasanya harga gabah relatif tinggi.
Baca juga: Harga Gabah Anjlok di Bawah HPP, Wamentan Sudaryono Ultimatum Bulog Serap dalam 2 Hari
Menurutnya, harga gabah hanya turun ketika panen raya berlangsung atau ketika ada isu impor. Hal ini disebut harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Harga gabah yang berada di bawah HPP disebut akan sangat mempengaruhi kesejahteraan petani.
Jika terus mengalami penurunan, harga gabah bisa makin menjauh dari HPP yang telah ditetapkan, terlebih pada 15 Januari 2025 pemerintah akan menaikkannya dari Rp 6 ribu ke Rp 6.500 per kg.
"Apalagi biaya produksi usaha tani saja naik. Dengan HPP Rp 6.500 saja itu hampir setara modal yang real dikeluarkan petani. Apalagi jika anjlok jadi Rp 5.300. Tentu ini merugikan petani. Bisa menurunkan daya belinya," kata Eliza kepada Tribunnews, Senin (13/1/2025).
Ia pun mempertanyakan peran Bulog di tengah penurunan harga ini. Seharusnya, BUMN pangan tersebut melakukan stabilisasi dengan menyerap gabah dari petani.
Eliza menduga Bulog tak bisa menyerap gabah secara optimal karena cadangan beras pemerintah masih banyak, sehingga gudangnya tidak bisa lagi menyerap gabah petani.
Jika gudang sudah penuh, ia menilai Bulog seharusnya mencari gudang alternatif, misalnya dengan memanfaatkan resi gudang atau gudang milik BUMN lain.
Selain itu, Bulog juga dinilai harus lebih aktif dalam menyerap gabah dengan menjemput bola secara langsung.
Menurut Eliza, selama ini petani kerap kebingungan ketika ingin menjual gabah mereka ke Bulog karena minimnya informasi dan harus mengeluarkan biaya transportasi.
"Kalau menjual ke bandar, bandarnya jemput bola. Petani tidak pusing lagi mengirimkan barangnya dan tidak mengeluarkan biaya ongkos ke Bulog. Gudang Bulog ini kan tidak di setiap desa," ucap Eliza.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.