Maksud dari Darurat Sipil yang Disinggung Jokowi untuk Tangani Covid-19
Berikut ini maksud dari darurat sipil yang sempat disinggung Jokowi untuk tangan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Penulis: Miftah Salis
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM- Presiden Jokowi sempat menyingung soal darurat sipil untuk mengangani pandemi Covid-19.
Kebijakan tersebut akan beriringan dengan kebijakam physical distancing.
Lalu apa yang dimaksud dengan darurat sipil?
Dalam rapat terbatas bersama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 via video conference pada Senin (30/3/2020), Jokowi menegaskan, kebijakan soal physical distanding perlu dilakukan dengan skala lebih besar.
Menurut Jokowi, kebijakan pembatasan sosial tersebut harus dipertegas kembali.
Selain itu, ia meminta kebijakan itu dilakukan lebih dispilin serta lebih efektif.
Menurut Jokowi, kebijaka physical distancing harus disertai dengan kebijakan darurat sipil.
Baca: Selama Pandemi Corona, Penegak Hukum Disarankan Tunda Kirim Tahanan ke Penjara
Baca: Tito Karnavian Kupas Maksud Lockdown dan Karantina terkait Wabah Corona: Ada 4 Jenis Pembatasan
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi."
"Sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi, dari Istana Bogor, Senin (30/3/2020), dikutip Tribunnews dari Kompas.com.
Lebih lanjut, Jokowi meminta jajarannya untuk segera mempersiapkan aturan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar tersebut.
Payung hukum tersebut diperlukan agar pemerintah daerah dapat segera bekerja.
"Dalam menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar saya minta agar segera disiapkan aturan pelaksanaan yang jelas sebagai panduan provinsi kabupaten dan kota sehingga mereka bisa bekerja," katanya.
Dinilai perlu oleh Jokowi, lalu apa sebenarnya kebijakan darurat sipil?
Keadaan darurat sipil ternyata diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang Undang No.74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Peraturan tersebut mengatur tentang keadaan bahaya suatu wilayah.
Darurat sipil merupakan keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang di seluruh atau sebagian wilayah NKRI.
Dalam Pasal 1, disebutkan bahwa keadaan darurat sipil berlaku apabila keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terncam oleh pemberontak, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Berikut ini bunyi Pasal 1:
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila :
1. Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa penguasa tertinggi keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi selaku penguasa Darurat Sipil Pusat/Penguasa Darurat Militer Pusat/Penguasa Perang Pusat.
Berikut ini badan yang akan membantu Presiden dalam keadaan darurat sipil:
1. Menteri Pertama;
2. Menteri Keamanan/Pertahanan;
3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
4. Menteri Luar Negeri;
5. Kepala Staf Angkatan Darat;
6. Kepala Staf Angkatan Laut;
7. Kepala Staf Angkatan Udara;
8. Kepala Kepolisian Negara.
Baca: Cara Mencegah Virus Corona hingga Gejala Ringan yang Tak Boleh Disepelekan
Baca: Doni Monardo: Menghadapi Pandemi Corona bak Berperang, Tidak Ada Satupun Negara yang Siap
Pada Bab II mulai dari Pasal 8 hingga Pasal 21, dijelaskan mengenai keadaan darurat sipil, termasuk kewenangan-kewenangan dari Penguasa Darurat Sipil Pusat dan Daerah.
Penguasa Darurat Sipil Daerah yang dimaksud yakni kepala daerah serendah-rendahnya kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota).
Kepala Daerah tersebut akan dibantu oleh Komandan Militer tertinggi daerah, Kepala Polisi daerah, serta Pengawas/Kepala Kejaksaan daerah.
Namun, meski sempat disinggung Jokowi, penerapan darurat sipil disebut merupakan langkah terakhir yang akan diambil pemerintah.
Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman.
Penerapan darurat sipil saat ini masih dalam tahap pertimbangan.
"Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus Covid-19," kata Fadjroel dalam keterangan tertulis, Senin (30/3/2020), mengutip dari Kompas.com.
(Tribunnews.com/Miftah, Kompas.com/Ihsanuddin)