Obat Remdesivir Gagal Diuji Coba pada Manusia, Salah Satu Obat Eksperimental untuk Corona
Obat yang digadang-gadang bisa menjadi obat Covid-19, Remdesivir gagal dalam uji klinis kepada manusia.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Obat yang digadang-gadang bisa menjadi obat Covid-19, Remdesivir gagal dalam uji klinis kepada manusia.
Ini berdasarkan dengan sebuah hasil penelitian yang dirilis secara tidak sengaja pada Kamis (23/4/2020) lalu.
Diketahui penelitian itu merupakan uji klinis acak yang pertama.
Namun hasilnya mengurangi harapan kepada obat itu, sebagaimana dikutip dari CNA.
Baca: Hasil Uji Klinis di Amerika Serikat, Remdesivir Sembuhkan Pasien Covid-19
Baca: Rumah Sakit di Chicago Obati Pasien Covid-19 dengan Obat Remdesivir, Hasilnya Menjanjikan
Draf ringkasan penelitian Remdesivir itu dirilis online di situs resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tetapi sebenarnya pertama kali diungkap oleh Financial Times dan Stat, yang memposting tangkapan layar dari draf tersebut.
Namun perusahaan di balik Remdesivir, Gilead Sciences membantah hasil gagal pada draf tersebut.
Diketahui, hasil penelitian itu sudah terhapus.
Pihak Gilead Sciences juga mengatakan bahwa data mereka menunjukkan Remdesivir memiliki potensi manfaat.
Ringkasan itu mengatakan uji coba terjadi di China dan melibatkan 237 pasien, dengan 158 diberi obat dan 79 pada kelompok kontrol.
Para penulis mengatakan Remdesivir tidak dikaitkan dengan perbedaan waktu untuk peningkatan klinis dibandingkan dengan kontrol.
Setelah satu bulan, 13,9 persen pasien yang menggunakan remdesivir meninggal dibandingkan dengan 12,8 persen pada kelompok kontrol.
Perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
WHO mengatakan kepada Financial Times bahwa draft tersebut sedang menjalani peer review dan diterbitkan lebih awal karena kesalahan.
"Kami percaya pos itu termasuk karakterisasi studi yang tidak tepat," kata juru bicara Gilead Science.
"Dengan demikian, hasil penelitian tidak dapat disimpulkan, meskipun tren dalam data menunjukkan manfaat potensial untuk Remdesivir, terutama di antara pasien yang diobati pada awal penyakit," tambah juru bicara itu.
Studi ini belum mewakili akhir masalah ini.
Masih ada beberapa uji coba skala besar pada tahap lanjut yang harus segera memberikan gambaran lebih jelas.
Remdesivir adalah salah satu obat yang pertama kali disarankan untuk digunakan dalam mengobati Covid-19.
Seorang profesor pharmaco-epidemiologi di London School of Hygiene & Tropical Medicine, Stephen Evans menilai skala penelitian itu terlalu kecil sehingga sulit mendeteksi manfaat atau resiko.
"Jika obat itu hanya bekerja dengan baik ketika diberikan sangat awal setelah infeksi, mungkin akan jauh kurang berguna dalam praktik," tambahnya.
Pekan lalu Stat mengabarkan bahwa Remdesivir menunjukkan kemanjuran yang signifikan saat uji coba pada pasien Covid-19 di rumah sakit Chicago.
Lembaga Kesehatan Nasional AS juga melaporkan bahwa obat itu terbukti efektif dalam percobaan kecil pada monyet.
Remdesivir sebelumnya pernah gagal dalam uji coba terhadap virus Ebola.
Obat ini termasuk golongan obat yang bekerja pada virus secara langsung.
Bagaimana Kerja Remdesivir?
Seperti diberitakan Tribunnews sebelumnya, virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 merupakan virus yang menyerang RNA.
Mengutip dari Medicine Net, RNA adalah molekul pembantu pembentukan DNA pada saat proses sintesis protein pada gen.
Salah satu virus RNA yakni SARS-CoV-2 membutuhkan enzim polymerase untuk membentuk rantai RNA.
Remdesivir bekerja dengan mengganti unsur penting yang dibutuhkan oleh enzim RNA polymerase, sehingga rantai RNA tidak dapat terbentuk.
Mudahnya ibaratkan polymerase adalah mesin pembuat mie.
Tentu untuk membuat mie menggunakan mesin itu butuh adonan.
Redemsivir diibaratkan adonan palsu, seperti halnya plastisin mainan anak-anak.
Jadi bila adonan mainan ini dimasukkan ke dalam mesin pembuat mie, maka mie yang dihasilkan tentu tidak bisa dikonsumsi.
Artinya obat ini dirancang untuk memperlambat infeksi sel-sel sehat dengan menghalangi replikasi virus, sebagaimana diberitakan Al Jazeera.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)