Peringatan WHO: Virus Covid-19 Tak Akan Hilang
Virus Corona yang muncul akhir tahun lalu hingga kini telah menjangkiti lebih dari 4.200.000 orang
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JENEWA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan kemungkinan virus Corona (Covid-19) tidak akan pernah punah atau hilang dan penduduk dunia harus belajar untuk berdamai dengannya.
"Virus ini kemungkinan hanya menjadi endemi dalam masyarakat kita, dan virus ini kemungkinan tidak akan pernah hilang," ujar Direktur Kedaruratan WHO, Michael Ryan, dalam jumpa pers virtual di Jenewa, Swiss, Rabu (13/5) waktu setempat.
"Layaknya HIV belum juga hilang--tapi kita telah menerima dan berdamai dengan virus itu," ucap Ryan.
Virus Corona pertama kali muncul di Wuhan, China akhir tahun lalu dan hingga kini telah menjangkiti lebih dari 4.200.000 orang dan memakan korban jiwa hampir 300.000 orang di seluruh dunia.
"Kita memiliki virus baru memasuki populasi manusia untuk pertama kalinya dan oleh karena itu, sangat sulit untuk memprediksi kapan kita akan menaklukannya," kata Ryan.
Sejumlah negara mulai secara bertahap melonggarkan pembatasan lockdown yang diterapkan guna membatasi penyebaran Covid-19.
Namun WHO memperingatkan, virus Corona mungkin tidak akan pernah hilang seluruhnya.
WHO menegaskan, tidak ada cara untuk menjamin melonggarkan pembatasan tidak akan memicu gelombang kedua infeksi virus corona.
Baca: Iuran BPJS Naik, Istana Janji Akan Tingkatkan Kualitas
Baca: Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Denpasar Mulai Berlaku, Baru Satu Jam 8 Orang Diminta Putar Balik
Baca: Paula Kagum Tak Pernah Lihat Nagita Bete, Sifat Asli Gigi Diungkap Mbak Lala : Kayak Orang Oleng
"Banyak negara yang ingin keluar dengan berbagai langkah," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Tapi rekomendasi kami masih sama yakni kewaspadaan di negara manapun harus berada pada tingkat tertinggi," tegasnya.
Ryan menambahkan, masih butuh jalan yang panjang, bagi dunia untuk kembali pada kehidupan normal.
Dia menegaskan, menemukan vaksin adalah satu-satunya cara untuk menaklukkan virus Corona.
Menurut Ryan, sekarang merupakan kesempatan besar bagi masyarakat dunia untuk mengambil langkah maju dengan mencari vaksin dan membuatnya dapat diakses secara luas.
"Ini kesempatan besar bagi dunia," kata Ryan
Harapan dari Rusia
Dari Rusia muncul secercah harapan. Kandidat obat untuk mengobati virus corona, favipiravir, telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam uji klinis awal di Rusia.
Demikian disampaikan Kepala Russian Direct Investment Fund (RDIF), Kirill Dmitriev.
RDIF menyediakan 150 juta roubles (2 juta dolar AS) dalam pendanaan proyek tersebut.
Kirill Dmitriev mengatakan 60 persen dari 40 pasien positif corona yang mengkonsumsi tablet favipiravir--yangpertama kali dikembangkan di Jepang dengan nama Avigan--hasil tesnya negatif dalam lima hari.
Obat ini, kata dia, bisa memangkas waktu pemulihan pasien corona.
Produsen obat bergegas untuk mengembangkan terapi perawatan dan vaksin untuk virus yang sangat menular dan menewaskan lebih dari 290.000 orang di seluruh dunia, dan menyerang lebih dari 4,2 juta orang.
Avigan, yang dikenal secara umum sebagai favipiravir, dikembangkan pada akhir 1990-an oleh sebuah perusahaan yang kemudian dibeli oleh Fujifilm, ketika banting stir usahanya ke perawatan kesehatan.
Obat ini bekerja dengan memutus mekanisme reproduksi dari virus RNA tertentu, seperti influenza.
Favipiravir juga menjalani uji coba di India oleh Glenmark Pharmaceuticals Ltd. Rusia, yang memiliki jumlah kasus tertinggi kedua di dunia, di bawah Amerika Serikat, juga sedang menguji prototipe vaksin pada hewan.
Sementara RDIF telah mengalihkan dana untuk memproduksi lebih banyak tes di dalam negeri.
"Ini akan mengurangi beban pusat medis dan menurut perkiraan kami, juga akan mengurangi jumlah pasien berbahaya secara epidemiologi sekitar 50 persen," kata Dmitriev, mengacu pada pengobatan favipiravir.
Uji klinis 330 pasien yang terinfeksi corona harus selesai pada akhir Mei, demikian disampaikan Andrei Ivashchenko, seorang profesor di Akademi Ilmu pengetahuan Rusia dan Ketua Dewan Direksi di ChemRar, perusahaan yang melakukan pengujian.
"Fasilitas produksi ChemRar akan memungkinkan kita untuk menghasilkan puluhan ribu program pengobatan per bulan, yang kami perkirakan dan berharap akan cukup untuk Rusia, minimalnya, " kata Ivashchenko.
Dia mengatakan tes awal menunjukkan bahwa ada efek samping minimal. Ibu hamil dilarang menggunakan obat ini.
Obat Avigan di Jepang dapat menyebabkan cacat lahir.
Ivashchenko juga mengatakan, tidak ada data yang cukup untuk mengatakan seberapa efektif pengobatan favipiravir pada pasien sakit parah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan empat fase tentang cara kerja uji klinis. Uji coba yang dilakukan di Rusia akan masuk ke dalam tahap pertama dari kerangka kerja itu.
"Tahap I studi biasanya menguji obat baru untuk pertama kalinya dalam sekelompok kecil orang untuk mengevaluasi berbagai dosis aman dan mengidentifikasi efek sampingnya," demikian mengutip syaratnya di laman resmi WHO .(malau/Channel News Asia/Reuters/Aljazeera/FOX News/BBC/tribunnetwork/cep)