Pakar Epidemologi Ragukan Validitas Obat Covid-19 Temuan Tim Riset Unair, Ini Alasannya
ia mengecek obat kombinasi Covid-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis WHO.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Epidemologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono meragukan validitas obat Covid-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang disponsori oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan belakangan menggandeng TNI.
Pandu menduga, hasil penelitian tim riset Unair itu belum direview oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku sehingga patut diduga, laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis.
Padahal, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, ia mengecek obat kombinasi Covid-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis WHO.
Baca: BPOM Paparkan Temuan Kritis dalam Inspeksi Uji Klinis Obat Covid-19 UNAIR
“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/,” kata Pandu dalam keterangan pers, Rabu (19/8/2020).
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinik.
Pasalnya, semua harus mengedepankan aspek transparan.
Dikatakan Pandu, selama tahapan riset harus dipantau oleh tim clinical monitoring yang independen.
Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada independent clinical monitor, Data Safety Monitorign Board (DSMB) minimal 3 orang, meliputi masing-masing 1 ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti.
“Dan harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” tegas Pandu.
Pandu bilang, tim clinical monitor dari BPOM RI dan kelompok independent yang evaluasi data uji klinik sehari-hari. Clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.
“Kesalahan prosedur yang saya duga ada yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subyek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan SECAPA. Bukan hanya yang di rumah sakit, yang benar-benar butuh pengobatan,” terang Pandu.
Pandu juga mengingatkan agar setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM RI. Komite Etik yang independen, harap Pandu, sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes RI dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.
Meski demikian, Pandu sedari awal sudah meragukan riset tersebut yang terkesan ingin mencari jalan pintas dengan mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan.
“Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.
Oleh karena itu, Pandu berharap agar lembaga otoritas Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) bersikap tegas, apabila belum memenuhi syarat tersebut, BPOM bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi Covid-19.
Selain itu, Pandu menilai seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM RI terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya.
Dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan Obat Covid 19 pertama di dunia. Hal ini, menurut Pandu, tidak sesuai dengan prosedur.
“Ya ini uji klinik pertama obat Covid-19 di dunia yang anomali, dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademis yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,” kata Pandu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.