Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Efek Samping Obat Covid-19 UNAIR, BPOM Buka Opsi Libatkan Perhimpunan Dokter Paru

Komisi Nasional Penilai Obat menilai efek samping yang ada dalam suatu obat, bukan satu-satunya faktor atau pertimbangan obat tersebut untuk kemudian

Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Soal Efek Samping Obat Covid-19 UNAIR, BPOM Buka Opsi Libatkan Perhimpunan Dokter Paru
WARTAKOTA/Henry Lopulalan
Rektor Unair Mohammad Nasih menyerakan berkas obat penawar Covid 19 kepada Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) diwakilkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa di Mabes AD, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta, Pusat, Sabtu (15/8/2020). Tim riset Universitas Airlangga (Unair) Surabaya telah menyelesaikan obat hasil uji klinis fase ketiga dan kombinasi obat penawar covid-19. (WARTAKOTA/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito menegaskan, akan ada pertimbangan aspek yang lebih luas baik dari BPOM dan Komisi Nasional Penilai Obat terkait obat Covid-19 yang diteliti oleh Universitas Airlangga (UNAIR).

Hal tersebut menjawab apakah BPOM mengetahui soal efek samping dari obat Covid-19 tersebut dalam proses uji klinik.

"Terapi obat terhadap oenyakit obat Covid-19. Untuk itulah, nanti dalam tim yang membantu, dimasukkan juga dari perhimpunan dokter paru yang sekarang ini sudah mengeluarkan protokol dikaitkan dengan pengobatan Covid-19," kata Penny dalam konferensi pers di kantor BPOM, Rabu (19/8/2020).

Di kesempatan yang sama, Komisi Nasional Penilai Obat menilai efek samping yang ada dalam suatu obat, bukan satu-satunya faktor atau pertimbangan obat tersebut untuk kemudian ditolak.

Baca: BPOM soal Koreksi atas Uji Klinis Obat Covid-19 UNAIR: Aspek Validitas Jadi Prioritas

"Yang kita timbang adalah pertimbangan risk benefit. Obat antikanker itu efek sampingnya dahsyat sekali. Seringkali rambutnya rontok, enggak mau makan, luka di mana-mana ,tapi toh kita setujui, karena bisa memperpanjang hidup orang sekian bulan atau sekian tahun," kata Anggota Komnas Penilai Obat, Prof Rianto Setiabudy.

Rianto lebih lanjut menyebut efek samping bisa dihindari dengan memodifikasi dosis kepada penderita.

"Misalnya mengurangi dosisnya, atau cara pemberiannya itu diberikan setelah makan dan sebagainya. Jadi, untuk ini kita harus luas (melihatnya)," tukasnya.

Berita Rekomendasi

Sebelumnya, BPOM mencatat ada beberapa temuan kritis (critical finding) dalam inspeksi BPOM terkait uji klinis obat tersebut.

"Pada intinya (temuan kritis) dikaitkan dengan randomization. Kalau suatu research harus dilakukan secara acak sehinnga betul-betul merepresentasikan populasi dari di mana obat tersebut diberikan," kaga Kepala BPOM, Penny Lukito dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube BPOM, Rabu (19/8/2020).

Penny menyebut pasien yang dipilih sebagai subjek dari uji klinis belum merepresentasikan randomization sesuai dengan protokol yang ada, di antaranya variasi derajat kesakitan atau keparahan.

"Ada derajat ringan, sedang, dan parah. Subjek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut, karena itu bagian dari rsndomization," lanjutnya.

Kemudian, ada juga Orang Tanpa Gejala (OTG) yang diberikan obat. Padahal, dikatakan Penny, protokol pemberian obat tidak perlu diberikan obat kepada OTG.

"Kita harus mengarah kepada oenyakit ringan, sedang, dan berat, tergantung kepada termal atau represntasi masing-masing. Jadi itu mencakup aspek validitas," katanya.

Hasilnya pun, dimayakan Penny, belum menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan.

"Suatu research harus menunjukkan bahwa suatu yang diintervensi memberikan hasil yang cukup signifikan berbeda dibandingkan terapi yang standar. Jadi saya kira, aspek efikasinya perlu kita tindaklanjuti lebih jauh lagi" pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas