Sama Seperti WHO, Kemenkes Tegaskan Tidak Campur Vaksin Dosis Pertama dan Kedua dengan Merek Berbeda
Siti Nadia Tarmizi mengimbau agar masyarakat 'tidak menggunakan' merek vaksin yang berbeda pada dosis pertama dan kedua vaksinasi covid
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengimbau agar masyarakat 'tidak menggunakan' merek vaksin yang berbeda pada dosis pertama dan kedua vaksinasi virus corona (Covid-19).
Ia menjelaskan bahwa hingga kini belum ada uji klinis yang menunjukkan keamanan maupun efektivitas vaksin saat digunakan dengan merek berbeda.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun memberikan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) hanya untuk penggunaan dua dosis vaksin yang sama, baik itu vaksin Sinovac, AstraZeneca, Moderna, Pfizer maupun Sinopharm.
"Sampai sekarang karena memang hasil dari uji klinis itu adalah dosis satu dan dosis dua menggunakan merek vaksin yang sama ya. Jadi tentunya penggunaan izin darurat itu dikeluarkan berdasarkan penilaian aspek keamanan," kata Siti Nadia, dalam talk show live Instagram Elshinta, Selasa (13/7/2021).
Siti Nadia kembali menekankan bahwa pemerintah masih tetap merujuk pada EUA yang dikeluarkan BPOM yang merekomendasikan penggunaan jenis dan merek vaksin yang sama untuk dosis pertama dan kedua.
Ini dilakukan berdasar pada kajian klinis serta pendekatan menggunakan kaidah keilmuan (scientific) yang ada.
"Jadi didasarkan dengan hasil-hasil kajian klinis maupun scientific yang ada, maka tentunya kita sampai saat ini masih merekomendasikan untuk pemberian dosis pertama dan dosis kedua, betul-betul dosis lengkap menggunakan jenis dan merek yang sama dari vaksin yang sama," jelas Siti Nadia.
Jika sejak diberikan suntikan dosis awal, masyarakat telah menerima vaksin Sinovac, maka ketentuan tersebut juga berlaku pada dosis kedua.
Begitu pula jika mereka menerima dosis awal dari merek vaksin lainnya, maka disarankan mendapatkan suntikan kedua untuk merek yang sama.
"Jadi tidak boleh kalau kemudian dosis satunya dapet Sinovac atau Coronavac, dan dosis keduanya dilanjutkan dengan AstraZeneca ya. Jadi tetap, kalau yang pertama Coronavac (Sinovac), yang kedua juga tetap akan Coronavac," tegas Siti Nadia.
Siti Nadia pun kembali menekankan bahwa masyarakat yang telah mendapatkan dosis pertama vaksinasi, tidak perlu khawatir akan 'kehabisan' merek vaksin yang sama untuk dosis kedua.
Karena pemerintah telah memperhitungkan hal ini dan peserta vaksinasi yang telah melakukan registrasi vaksin tentunya datanya terdaftar dalam sistem pedulilindungi.
"Dan ini sudah kita atur untuk bisa semua mendapatkan dosis vaksin yang sama," pungkas Siti Nadia.
Imbauan yang sama juga sempat disampaikan Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr. Soumya Swaminathan telah memperingatkan warga dunia untuk tidak menggabungkan vaksin virus corona (Covid-19) yang berbeda.
Hal ini disampaikannya untuk menanggapi adanya pernyataan dari perusahaan farmasi yang menggembar-gemborkan kemungkinan bahwa suntikan tambahan (booster) dapat efektif melawan varian baru Covid-19, yakni B.1.617.2 (Delta).
Ia memperingatkan untuk tidak mencampur vaksin yang berbeda dalam upaya meningkatkan kekebalan.
Karena saat ini tidak ada bukti maupun data yang menguatkan spekulasi itu.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam konferensi pers WHO pada hari Senin kemarin waktu setempat.
"Saya benar-benar ingin memperingatkan orang-orang, karena ada orang yang berpikir untuk mencampur dan mencocokkan vaksin yang berbeda, jadi ini menjadi tren yang berbahaya. Kita saat ini berada di zona bebas data dan bebas bukti, ada data terbatas yang kita miliki tentang mix and match ini," tegas Dr. Swaminathan.
Menurutnya, jika banyak negara yang meyakini informasi 'gembar-gembor perusahaan farmasi' tanpa didasarkan pada data, maka ini akan menimbulkan kekacauan.
"Ini akan menimbulkan situasi yang kacau di banyak negara, jika warga mulai memutuskan kapan mereka harus mengambil dosis kedua, ketiga atau keempat," jelas Dr. Swaminathan.
Dikutip dari laman Russia Today, Selasa (13/7/2021), berbeda dengan apa yang disampaikan Ilmuwan WHO, beberapa penelitian diklaim telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dari kombinasi vaksin yang berbeda.
Seperti yang dilakukan Institut Gamaleya Rusia yang menjadi pengembang vaksin pertama yang mencoba 'cara ini'.
Gamaleya menawarkan vaksin Sputnik V dan AstraZeneca untuk diuji klinis pada tahun lalu, dan penelitiannya pun saat ini masih berlangsung.
Studi serupa yang menggabungkan vaksin lain juga telah memperkuat argumen untuk 'mencampur dan mencocokkan'.
Sejumlah negara seperti Inggris, Kanada, dan Italia mengizinkan warganya untuk menerima suntikan dari beberapa produsen vaksin.
Dr. Swaminathan mengakui bahwa penelitian ini memang telah memunculkan harapan bagi banyak negara.
Namun ia mencatat bahwa suntikan booster tidak diperlukan untuk saat ini, meskipun dunia tengah dilanda varian baru yang diklaim lebih mudah dan cepat menular.
"Harus berdasarkan ilmu dan data, bukan pada masing-masing perusahaan yang menyatakan bahwa vaksin mereka sekarang harus diberikan sebagai dosis booster," pungkas Dr. Swaminathan.
Pernyataannya itu kemungkinan merujuk pada pernyataan raksasa farmasi Amerika Serikat (AS) Pfizer, yang mengumumkan pada pekan lalu bahwa dosis ketiga vaksinnya mungkin akan diperlukan untuk mempertahankan kekebalan tubuh.
Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS, membalas pengumuman Pfizer dengan pernyataan bersama yang menegaskan kembali bahwa penggunaan 'dua dosis efektif untuk saat ini'.