Perpanjangan PPKM Darurat Harus Disertai Masifnya Testing
Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai PPKM Darurat perlu diperpanjang untuk keselamatan masyarakat.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Meskipun banyak permintaan untuk melonggarkan aktivitas, Pemerintah memutuskan memperpanjang penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga 25 Juli 2021.
Artinya sejumlah pembatasan atau pengetatan kegiatan tetap dilakukan selama lima hari ke depan.
Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai PPKM Darurat perlu diperpanjang untuk keselamatan masyarakat.
Alasannya kenaikan kasus harian Covid-19 masih tinggi.
Kasus terkonfirmasi positif pada Selasa kemarin mencapai 38.325 kasus, dengan kasus aktif sebanyak 550.192.
"Kalau PPKM Darurat tidak dilanjutkan sama saja mengancam keselamatan dan keselamatan masyarakat," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (21/7/2021).
Baca juga: Anwar Fuady Kembali Berduka, Putra Sulungnya Meninggal Dunia karena Covid-19
Apabila PPKM Darurat tidak diperpanjang, berpotensi kasus baru Covid-19 kembali melonjak tinggi.
Karenanya keselamatan nyawa manusia harus menjadi prioritas dalam penanganan Pandemi ini, salah satunya dengan penerapan PPKM Darurat.
"Ini soal keselamatan nyawa manusia. Bukan waktunya mementingkan kepentingan sendiri-sendiri," katanya.
Sementara itu Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa perpanjangan PPKM Darurat selama lima hari tersebut harus disertai dengan tracing, testing, dan treatmen (3T) yang tinggi pula.
Baca juga: BIN Gelar Vaksinasi Door To Door dan Bagikan Bantuan untuk Warga Terdampak Covid-19 di Semarang
"Tentu tidak realistis seminggu bisa turun, kecuali ada strategi ekstrem selama PPKM ini dan terus berlanjut, dengan cara 3T yang luar biasa ditingkatkan, itu konsekuensi yang logis," katanya.
Menurutnya saat ini tidak ada pilihan lain selain meningkatkan 3T, karena apabila terus menerus melakukan pembatasan, ongkos sosial ekonominya sangat tinggi. Saat ini meneutunya, menemukan kasus baru harus dianggap suatu prestasi bukan wanprestasi.
"Bagaimana kita membasmi musuh ini kalau kita tidak bisa menemukan musuh," katanya