A.M. Fatwa: Pancasila Bagian dari Amal “Autopilot”
Menurut Ketua Badan Kehormatan DPD RI A.M. Fatwa, contoh amal autopilot adalah Pancasila. Keberadaannya efektif sebagai pemersatu kemajemukan bangsa
Penulis: Sponsored Content
TRIBUNNEWS.COM – Momen Hari Raya Idul Fitri yang berlangsung beberapa hari lalu sudah sepantasnya mendapat perhatian. Di hari kemenangan tersebut, berjuta-juta insan menjadi suci kembali. Semua dosa dan kesalahan pun telah dihapuskan.
Selain itu, di hari suci itu juga kaum Muslim saling memaafkan satu sama lain dari lubuk hati yang terdalam.
Dengan dosa-dosa yang telah dihapuskan, sudah tentu setiap insan kembali berlomba-lomba mengejar amal saleh sebagai bentuk investasi akhirat. Pahala dari amal saleh tersebut diharapkan menjadi berlipat ganda nilainya ketika memiliki dampak sosial yang cukup besar di masyarakat.
Hal itulah yang menjadi perhatian Ketua Badan Kehormatan DPD RI, A.M. Fatwa. Menurut ia, amal “autopilot” akan menjadi kesempatan setiap Muslim untuk berlomba-lomba menebar kebaikan dengan imbalan pahala yang tak terbatas.
Semua itu akan terjadi, menurut A.M. Fatwa, jika amal saleh yang dikerjakan memiliki dampak sosial yang manfaatnya dapat dirasakan orang banyak.
Dalam ceramahnya sebagai khatib di shalat Idul Fitri di PKP Jakarta Islamic School, Jumat (17/7/2015) lalu, A.M. Fatwa menegaskan seorang Muslim dapat dikatakan ideal jika sudah mampu menyeimbangkan kesalehan personal dengan spiritual.
Dengan amal yang pahalanya terus mengalir, kata A.M. Fatwa, seorang Muslim selalu berusaha menjadikan setiap langkah dan tindak-tanduknya memiliki dampak sosial yang signifikan dalam masyarakat. Dengan demikian, perubahan positif pun dapat terjadi.
Salah satu contoh nyata amal saleh “autopilot”, menurut A.M. Fatwa, adalah Pancasila. Sejak disepakati sebagai dasar negara dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, sampai saat ini Pancasila masih dirasakan manfaatnya sebagai pemersatu kemajemukan bangsa.
Dia pun mengajak semua komponen bangsa untuk bersikap objektif terhadap sejarah. Sebab, menurutnya, tidak ada yang abadi, kekuasaan yang datang silih berganti merupakan sunatullah yang tidak bisa diingkari.
Ketua Badan Kehormatan DPD RI ini pun menarik analogi antara hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dengan hilangnya tujuh kata dalam traktat perjanjian Hudaibiyah.
Menurutnya, banyak sekali hikmah di balik hilangnya tujuh kata dalam dua kejadian penting tersebut. Salah satunya terciptanya stabilitas keamanan dan ketertiban sosial.
“Jika Pancasila 1 Juni dimaksudkan sebagai doktrin politik suatu parpol, tidak masalah, tapi jika dipaksakan jadi ideologi negara, berpotensi mencederai rasa persatuan,” katanya dalam kesempatan tersebut.
Selama ini sosok A.M. Fatwa sebagai Ketua Badan Kehormatan DPD RI memang dikenal sebagai dai dan politisi yang cerdas. Meski penyampaian khutbah Idul Fitri, Jumat (17/7/2015) lalu kental dengan nuansa religius, tapi pelbagai kritik terhadap realitas sosial dan politik dewasa ini tetap tergambar jelas dengan bahasa yang lugas.
Ikuti terus perkembangan terbaru dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hanya di Kabar DPD RI.