Senator Filep Minta Perhatikan Hak Masyarakat Adat 7 Suku di Bintuni
BP Tangguh mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, masyarakat adat, LSM dan Lembaga Hukum
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - BP Tangguh mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, masyarakat adat, LSM dan Lembaga Hukum, Selasa (23/2/2021).
Pertemuan tersebut membahas tentang Adendum Amdal Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL/RKL) BP Tangguh yang sudah dieksplorasi sejak 2014.
Adapun adendum perubahan Amdal tersebut merupakan pembahasan lanjutan guna melihat kembali dampak lingkungan dan dampak sosial terhadap warga di sekitar lokasi.
Terkait hal tersebut, Anggota DPD RI dapil Papua Barat memberikan tanggapan. Filep meminta agar adendum tersebut benar-benar memperhatikan eksistensi kehidupan masyarakat adat 7 (tujuh) suku di teluk Bintuni sekaligus hak-haknya.
Tak hanya itu, Filep mengingatkan agar investor maupun pemerintah terkait tak mempermainkan kesepakatan amdal. Hal itu menurutnya karena banyaknya kasus kerusakan lingkungan yang terjadi meski izin amdal telah dikeluarkan.
Penulis buku “Pengaturan Kebijakan Investasi Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat di Provinsi Papua Barat” ini juga meminta agar perhatian Pemerintah pusat dan daerah sebagai penanggungjawab implementasi UU, senantiasa memastikan investasi di Papua telah sesuai peraturan.
Oleh sebab itu menurutnya, jika temuan pelanggaran telah nyata maka wajib diproses hukum sehingga dapat menimbulkan efek jera.
Tak hanya itu, Filep juga meminta agar pemerintah secara berjenjang memperbaiki sistem manajemen administrasi terkait investasi sehingga tidak memberikan peluang adanya unsur pelanggaran administrasi maupun hukum baik karena kelalaian ataupun kesengajaan.
Bila diperlukan, menurut Senator Papua Barat ini, pemerintah dapat segera membentuk tim investigasi BP Tangguh.
Sebelumnya, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan meminta agar BP Tangguh melaksanakan komitmen kesepakatan Amdal tentang penataan lingkungan perumahan bagi masyarakat pesisir utara di Weriagar, Tomu, dan Taroi, pada Januari 2020.
Dominggus meminta BP Tangguh berkewajiban membangun 465 unit rumah bagi masyarakat di distrik Weriagar, Tomu, dan Taroi dalam jangka waktu 4 tahun sejak 2018.
Persoalan investasi di Tanah Papua memang tak kunjung ada habisnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan pelanggaran-pelanggaran terkait perizinan, praktik deforestasi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan dengan cara membakar hutan, tidak tersalurkannya pemerataan ekonomi kepada masyarakat sekitar areal konsesi, konflik tenurial serta persoalan yang muncul terkait dengan kewajiban pembangunan kebun plasma.
KPK menemukan 24 perusahaan kelapa sawit di Papua Barat yang beroperasi di wilayah seluas 576.090,84 hektare, namun hanya 11 perusahaan dari jumlah tersebut yang telah melakukan penanaman.
Sebagaimana diketahui, masyarakat Papua secara genealogis terikat pada tanah dan hutan sebagai bagian dari kehidupannya.
Dengan demikian, setiap investasi di Papua maupun Papua Barat, yang melakukan deforestasi dan perusakan lingkungan hidup sama dengan merenggut sumber kehidupan Orang Papua.
Ridha Saleh, seorang peneliti senior dari WALHI Institut, bahkan menyebut Papua merupakan wilayah Indonesia yang sepanjang integrasinya memiliki luka politik dan duka ekologis.
Luka politik itu terjadi karena berbagai pelanggaran HAM tidak dapat diselesaikan secara memuaskan, bahkan cenderung ditinggalkan begitu saja.
Sementara duka ekologis, karena hutannya pun dijarah, namun tak mampu membuat sejahtera Orang Papua.
Persoalan tersebut semakin parah karena Papua tetap menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Karena itu perlu tanggung jawab yang integral dari investor yang menanamkan bisnisnya di Tanah Papua.
Tanggung jawab itu tidak sekadar bernuansa ekonomi, melainkan penghargaan terhadap harkat dan martabat Orang Papua, yang bebas dari diskriminasi, terutama diskriminasi terhadap sumber penghasilan.
“Akhirnya, semua harus bermuara pada berani tidaknya mengungkap praktik-praktik ilegal, atau usaha-usaha investasi yang melanggar hukum. Pertanyaannya ialah, apakah mafia-mafia investasi di Papua dapat diberantas? Atau justru setiap tahun telah muncul mafia-mafia baru?” tutup Filep.(*)