Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto: Cabut Nota Kesepakatan Pengusutan Dana Desa
Nota kesepakatan tersebut dinilai dapat menjadi tameng bagi para koruptor dana desa untuk bebas dari jeratan hukum.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto meminta pemerintah agar mencabut nota kesepakatan atau memorandum of understanding (MoU) tentang pengusutan korupsi dana desa. MoU tersebut dinilai dapat menjadi tameng para koruptor dana desa agar bebas dari jeratan hukum.
“Kehadiran MoU itu menjadi berkah bagi para koruptor dana desa. Banyak pelaku korupsi di desa-desa lolos dari jeratan hukum karena adanya MoU tersebut,” kata Abraham di Jakarta, Rabu (30/6).
Ia melihat isi MoU yang menugaskan Inspektorat Daerah menjadi pemeriksa awal sekaligus pelaksana audit penggunaan dana desa menjadi celah melindungi Kepala Desa (Kades) atau mantan Kades yang dilaporkan masyarakat.
Dengan adanya kewenangan itu, para koruptor dapat bekerjasama atau kongkalikong dengan oknum aparat Inspektorat Daerah. Caranya, memanipulasi hasil audit sehingga jenis pelanggaran yang dilakukan hanya pelanggaran administrasi. Kemudian total dana yang dikorupsi tidak lebih dari Rp 100 juta.
"Dengan kerugiaan negara dibawah Rp 100 juta, para koruptor mudah saja mengganti uang kerugian. Setelah uang diganti, mereka bisa lolos dari jeratan hukum. Apalagi jenis pelanggaran sedemikian rupa dimanipulasi sehingga menjadi pelanggaran administrasi," jelas senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Dari laporan masyarakat, dia mendapatkan Inspektorat Daerah berkepentingan melindungi Kades atau mantan Kades yang dilaporkan. Mereka bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) di daerah. Alasannya, mereka adalah atasan langsung dari Kades yang dilaporkan. Artinya, jika Kades bermasalah, mereka juga harus bertanggung jawab. Karena itu, mereka bersama-sama menutupi Kades atau mantan Kades yang dilaporkan.
“Ini banyak terjadi di Dapil saya di NTT. Banyak koruptor dana desa lolos dari jeratan hukum karena kerjasama oknum BPMD dan Inspektorat Daerah. Itu akibat MoU yang menugaskan Inspektorat sebagai pemeriksa awal jika ada temuan penyimpangan dana desa," tutur Abraham.
Dari laporan masyarakat, dia juga mendapatkan oknum kejaksaan atau kepolisian menjadikan laporan dana desa sebagai ladang peras dan ATM di daerah. Peras dimulai dari Kades atau mantan Kades yang dilaporkan hingga BPMD dan Inspektorat. Dengan berbagai modus teror dilakukan agar sang calon koruptor bisa setor ke oknum penegak hukum.
"Teror dari penegak hukum membuat Inspektorat, BPMD dan Kepala Desa kerja sama. Mereka sama-sama menutupi praktik kotor yang sudah dilakukan dan membayar sejumlah uang ke oknum penegak hukum. Jika tidak disetor, kasus akan lanjut,” ungkap Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT.
Dia meminta nota kesepakatan itu dicabut karena melanggengkan praktik korupsi di desa. Akibat kehadiran nota itu, masyarakat yang mencari keadilan menjadi kecewa karena banyak laporan berujung sebatas pelanggaran administrasi.
Sebelumnya, bulan Februari 2018 lalu, Kemendagri, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menekan perjanjian MoU kerja sama soal penanganan laporan masyarakat atas dugaan korupsi di pemerintah daerah, termasuk terkait dana desa.
Perjanjian itu membahas mengenai koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dengan penegak hukum dalam menangani laporan atau pengaduan yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah. Isi MoU mengatur bahwa APIP atau Inspektorat Jenderal/Daerah dapat menentukan suatu laporan berindikasi korupsi atau kesalahan administrasi atau pidana. (*)