Hasan Basri Sampaikan Pentingnya Amendemen ke-5 untuk Memperkuat Fungsi Legislasi DPD
Kewenangan DPD RI perlu diperkuat karena napas pembentukan DPD RI memiliki nilai fundamental dalam kegiatan bernegara.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Demokrasi menuntut adanya keterlibatan rakyat untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan politik nasional melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Sementara desentralisasi tidak lain adalah untuk memberikan tempat bagi daerah-daerah untuk mengembangkan diri guna menopang “bangunan” NKRI dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Amendemen UUD NRI 1945 mempunyai tujuan mendasar, bahwa perubahan kesepakatan hukum negara (konstitusi) diubah untuk mewujudkan negara yang lebih demokratis. Motivasi perubahan yang dilaksanakan pasca reformasi menegaskan bahwa hukum berdiri di atas segalanyanya, tingkah laku dan tindak tanduk masyarakat maupun pemerintah berdasarkan hukum adalah perihal yang paling utama (Supremasi Hukum).
Paham demokrasi-desentralistik pada hakikatnya merupakan perwujudan dari teori terbentuknya negara yakni adanya unsur pemerintah yang berdaulat, rakyat, dan wilayah.
Dalam hal ini, Presiden sesungguhnya adalah ahli waris dari unsur pemerintah yang berdaulat dalam terbentuknya suatu negara. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, DPR sendiri lahir dari hak-hak rakyat itu sendiri. Sementara DPD merupakan subjek yang merepresentasikan unsur wilayah suatu negara.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Perspektif Daerah Menuju Sistem Bikameral yang Efektif, di Universitas Udayana Bali, Rabu (17/11/2021).
Wakil Ketua DPD RI Mahyudin menyampaikan bahwa Keberadaan DPD saat ini memasuki periode keempat, sejak pertama kali berdiri pada Tahun 2004.
“Kehadiran DPD RI dalam sistem ketatanegaraan dilatar belakangi oleh aspirasi dan kebutuhan daerah yang tidak dilirik dan diperhitungkan dalam penentuan kebijakan nasional pada saat Orde Baru. Kekuasaan yang terpusat di pihak eksekutif pada akhirnya melalui Perubahan UUD NRI Tahun 1945 bergeser berada di tangan Legislatif," ujar Mahyudin
"Akan tetapi dalam praktik legislasi yang selama ini telah berjalan, DPD seringkali tersudut dalam subordinasi DPR. Tak terhitung berapa RUU yang disampaikan DPD kepada DPD tetapi nihil tindak lanjut. Sudah banyak RUU yang diajukan DPD, lalu ‘diambil’ menjadi RUU usulan DPR. Begitu sering DPD tidak dilibatkan sama sekali dalam pembahasan RUU. Bahkan pernah, dalam suatu pembahasan RUU, DPD diundang DPR untuk memberikan pandangan," tuturnya.
Seiring dengan dinamika perkembangan, eksistensi DPD RI menjadi kekhawatiran di berbagai kalangan. Pelaksanaan kewenangan yang diamanahkan melalui konstitusi yang memasuki periode tahun kedua dirasakan masih belum optimal. Daerah dan masyarakat masih beranggapan kehadiran DPD masih jauh dari cita-cita pendiriannya sebagai pengawal aspirasi dan kebutuhan daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Senator asal Kalimantan Utara Hasan Basri menyampaikan bahwa kedudukan DPD RI haruslah diparadigmakan sebagai lembaga legislatif yang memiliki tujuan sangat penting untuk pembangunan Indonesia khususnya daerah-daerah. Hasan Basri menilai bahwa kewenangan DPD RI perlu diperkuat karena napas pembentukan DPD RI memiliki nilai fundamental dalam kegiatan bernegara.
“Secara konstitusional, untuk memperkuat fungsi legislasi DPD hanya dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945. Itupun dengan catatan, memperkuat fungsi legislasi DPD tidak cukup hanya dengan mengubah Pasal 22D UUD NRI 1945. Kalau hanya terbatas pada Pasal 22D UUD NRI 1945 saja, maka perubahan potensial menimbulkan keganjilan-keganjilan dalam pelaksanaan fungsi legislasi," ujar Hasan Basri
Menurut Hasan Basri dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, dalam teori perundang-undangan, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah RUU menjadi undang-undang.
“Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD NRI 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR," lanjutnya.
"Berkaca pada praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar-kamar dalam lembaga perwakilan bukan sesuatu yang baru. Kita lihat sistem bikameral yang dijalankan oleh negara Inggris, sekalipun House of Commons (sebagai lower house) jauh lebih dominan dalam fungsi legislasi dibandingkan House of Lords (sebagai upper house), semua RUU harus melewati kedua kamar yang ada sebelum ditandatangani menjadi undang-undang (all Bills go through both Houses before becoming Acts) oleh Ratu Inggris. Dalam hal penundaan, House of Lord tidak dibenarkan menunda lebih dari dua sesi persidangan parlemen atau lebih dari satu tahun (bills cannot be delayed by the House of Lords for more than two parliamentary sessions, or one calendar year),” tandas Hasan Basri.
Lebih dalam Alumni Magister Hukum Universitas Borneo ini menyampaikan Sistem bikameral dalam lembaga perwakilan rakyat efektivitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antar-kamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen politik. Dari semua fungsi tersebut, perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat.
“Dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk melaksanakan mekanisme checks and balances antar-kamar di lembaga perwakilan rakyat,” ujar Senator asal Kalimantan Utara.
“Sangat disayangkan jika melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD. Jika ditinjau lebih dalam, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden," sebut Hasan Basri.
"Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tidak terbantahkan, UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) UUD NRI 1945 menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR," jelasnya.
"Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan,” sambung Hasan Basri.
Terlepas dari banyaknya problematika peranan DPD RI, Hasan Basri menyampaikan Pimpinan dan Anggota DPD RI memiliki niat dan keinginan sebagai pengawal aspirasi dan kebutuhan daerah.
“Terlepas dari banyaknya problematika, Pimpinan dan Anggota DPD RI periode 2019- 2024 memiliki niat dan keinginan untuk mewujudkan DPD RI sebagaimana cita-cita pendiriannya sebagai pengawal aspirasi dan kebutuhan daerah. Dengan adanya amandemen UUD NRI 1945, Insya Allah aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat dapat berjalan dengan baik,” tutup Hasan Basri.
Acara FGD ini dihadiri oleh Wakil Ketua DPD RI Mahyudin, Anggota DPD RI asal Kalimantan Utara Hasan Basri, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dekan FISIP Universitas Udayana, Pemerintah Provinsi Bali, Perwakilan Tokoh Masyarakat, serta Civitas Akademika Universitas Udayana. (*)