Pernyataan Sikap Teras Narang Terkait Dugaan Penghinaan Hutan dan Masyarakat Kalimantan
Ketua Majelis Pertimbangan Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN), Teras Narang berharap masyarakat bisa menyikapi hal ini dengan tenang dan arif
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Gelombang protes masyarakat Kalimantan, khususnya Masyarakat Adat Dayak, terhadap pernyataan EM yang dinilai merendahkan hutan Kalimantan serta masyarakatnya terus meluas.
Sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN), saya menyampaikan harapan agar masyarakat bisa menyikapi hal ini dengan tenang dan arif.
Sebagai warga negara Indonesia yang taat hukum, kita perlu menjaga situasi kondusif dan menghormati proses hukum yang berlaku. Begitu pun kita berharap agar penegak hukum menindaklanjuti laporan masyarakat sesuai prosedur yang berlaku, menuntaskan penyelidikan dan penyidikan, hingga proses selanjutnya menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam konteks adat, proses peradilan adat akan ditentukan lebih lanjut nantinya oleh MADN. Proses ini adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat adat dayak yang terpisah dari proses hukum positif.
Saya berharap, seluruh pihak bersikap arif dalam menyampaikan pernyataan sentimentil, meski memiliki perbedaan kepentingan politik. Momen ini juga mesti jadi pembelajaran bagi semua pihak, untuk tidak menganggap sepele kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam. Terlebih bagi masyarakat adat Dayak yang sudah dari dulu banyak tinggal, membangun peradaban, serta memelihara kehidupan harmonis dengan alam di hutan.
Hutan bukan melulu tempat tinggal bagi flora dan fauna. Hutan adalah jantung kehidupan manusia sejak dari dulu, hingga detik ini. Kekayaan sumber daya alam hutan Kalimantan, tak hanya menghidupi masyarakat adat Dayak, tapi juga menggerakkan pembangunan negara ini bahkan dunia. Kekayaan alam batubara hingga migas dari hutan Kalimantan telah menggerakkan perekonomian, sekaligus berkontribusi pada tersedianya oksigen bagi kehidupan planet bumi. Maka tak heran Kalimantan juga disebut sebagai paru-paru dunia.
Untuk itu, mari tidak memandang remeh hutan. Terlebih di Indonesia banyak masyarakat adat lainnya yang bergantung hidup dan kebudayaannya dari hutan.
Semoga perdebatan terkait Ibu Kota Nusantara, tidak menghilangkan nalar serta adab dalam berdialektika. Mari rawat demokrasi tanpa memicu friksi, terlebih dalam situasi bangsa yang masih memiliki banyak tantangan karena pandemi.