Ketua DPD RI: Degradasi Moral Bangsa Terjadi Karena Bangsa Ini Meninggalkan Pancasila
Oleh karena itu, dia mendukung upaya LIDMI untuk memperjuangkan terwujudnya Pemuda Rabbani untuk Indonesia yang Beradab.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai bangsa Indonesia mengalami degradasi moral dan akhlak seperti realitas yang terjadi sekarang, karena bangsa ini telah meninggalkan Pancasila.
Hal itu disampaikan LaNyalla secara virtual ketika membuka secara resmi Muktamar ke-IV Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI) yang bertema “Mewujudkan Pemuda Rabbani Menuju Indonesia Beradab”, Sabtu (26/2/2022) malam.
"Saya memahami betul kerisauan saudara-saudara di LIDMI saat melihat fakta bahwa bangsa ini jauh dari negeri yang beradab. Jawabnya sederhana. Karena bangsa ini telah meninggalkan Pancasila. Bangsa ini telah tercerabut dari watak aslinya," ujar LaNyalla.
Mengapa bisa terjadi, kata LaNyalla, karena sejak tanggal 13 November 1998, melalui Ketetapan MPR Nomor 18 Tahun 1998, MPR telah mencabut Ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Alasannya karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
"Demi apa semua itu dilakukan? Jawabnya demi menjadi bangsa lain. Demi menjadi bangsa yang dianggap demokratis dalam ukuran Barat," ucap tokoh Pemuda Pancasila itu.
Dilanjutkan LaNyalla, setelah itu bangsa ini melakukan Amandemen UUD 1945, di tahun 1999 hingga 2002 silam. Lebih dari 90 persen isi pasal-pasal di UUD 1945 naskah asli diubah.
Sistem tata negara yang mengacu kepada Demokrasi asli Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila berubah menjadi Demokrasi barat dan ekonomi yang kapitalistik.
"Hasil Amendemen juga memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Partai Politik. Mereka menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa. Parpol lewat Fraksi di DPR RI juga memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara," papar dia.
Sementara itu DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil golongan-golongan dan wakil kelompok non-partisan, tidak memiliki ruang. Faktanya, sejak Amendemen saat itu hingga hari ini, kelompok non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan Partai Politik.
"Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-Partai besar menjadi mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen," imbuhnya.
Dominasi dan hegemoni Partai Politik untuk memasung Vox Populi, kata LaNyalla, semakin lengkap dengan adanya presidential threshold yang sama sekali tidak diperintah oleh Konstitusi. Aturan ini memaksa rakyat untuk memilih calon pemimpin pilihan mereka yang sangat terbatas.
"Dari sinilah persoalan bangsa semakin komplek. Ambang batas pencalonan presiden membuat polarisasi dan perpecahan di masyarakat. Kita disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Sesama anak bangsa saling melakukan bully, persekusi dan melaporkan ke ranah hukum. Di sini tampak sekali adanya degradasi moral dan akhlak bangsa," ujarnya.
Padahal sebenarnya, menurut LaNyalla, watak dasar bangsa ini adalah bangsa yang beradab. Karena bangsa ini memanusiakan manusia dan tidak terjadi secara masif tradisi perbudakan sebelum era VOC dan Penjajahan Belanda. Watak dasar bangsa ini juga memiliki akhlak. Karena bangsa ini adalah bangsa yang Berketuhanan.
"Bahkan sebelum Agama Samawi masuk ke nusantara, bangsa ini telah memiliki spirit Berketuhanan. Dengan adanya tradisi penghormatan kepada Causa Prima. Di mana setelah itu, Agama Samawi masuk dan mengajarkan Ketauhidan," tutur Senator asal Jawa Timur itu.
Itulah sebabnya, kata LaNyalla, Pancasila bukan diciptakan oleh Bung Karno. Namun tokoh kemerdekaan tersebutlah yang menemukan Mutiara terpendam di Nusantara yang sudah ada sebelum era penjajahan Belanda itu.
Sehingga pada 18 Agustus 1945, Pancasila secara resmi tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945 untuk menjadi way of life sekaligus Ideologi bangsa yang beragam Suku, Agama, Ras dan Golongan ini. Karena Pancasila adalah wadah yang utuh untuk negara ini.
Pancasila, imbuhnya, tegas meletakkan Ketuhanan di Sila Pertama. Sekaligus diikat dalam Konstitusi di Pasal 29 Ayat 1, yang berbunyi: “Negara Berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Lalu di Sila kedua, para pendiri bangsa meletakkan kalimat: “Kemanusian yang Adil dan Beradab. Sehingga Bangsa yang Berketuhanan dipastikan akan menjadi bangsa yang Beradab.”
"Itulah mengapa dalam beberapa kesempatan saya selalu sampaikan bahwa urutan sila-sila dalam Pancasila sudah tepat. Sehingga tidak bisa lagi diotak-atik dengan Tri Sila, apalagi Eka Sila," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, LaNyalla juga sepakat dengan apa yang dikatakan sejumlah tokoh dunia, bahwa untuk menghancurkan sebuah negara, tidak harus dengan pasukan militer. Tetapi cukup dengan menjauhkan warga bangsa tersebut dengan ideologi bangsanya.
"Generasi sebuah bangsa tidak bisa diperkuat dengan Subsidi dan Bantuan Sosial, tetapi hanya bisa diperkuat dengan Ideologi," lanjutnya.
Oleh karena itu, dia mendukung upaya LIDMI untuk memperjuangkan terwujudnya Pemuda Rabbani untuk Indonesia yang Beradab. Sebab memang generasi muda adalah penerus estafet bangsa ini.
"Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dan bekerja dalam spirit Negarawan, bukan Politisi. Jika seorang politisi kerap hanya memikirkan Pemilu yang akan datang, seorang Negarawan selalu memikirkan generasi yang akan datang," tuturnya.
Hadir dalam acara tersebut Ketua Umum Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia, Hamri, Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan, Ketua Umum Wahdah Islamiyah, Ustadz Zaitun Rasmin, Wakil Ketua Umum PP Persis, Ustadz Jeje Zainuddin, Pangdam XIV Hasanuddin, Kapolda Sulawesi Selatan, Para Ketua OKP Nasional dan Para Ketua PW dan PD LIDMI seluruh Indonesia.(*)