Komisi XI DPR: Pajak Digital Bisa Jadi Sumber Pendapatan Baru Negara
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai sektor ini sangat potensial meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Kelak, pajak dunia digital ter
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen bagi produk-produk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai sektor ini sangat potensial meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Kelak, pajak dunia digital tersebut jadi sumber baru yang menaikkan kantong pendapatan negara.
Baca: Komisi XI: PSN 2020 Harus Bantu Pulihkan Perekonomian Nasional Pasca Covid-19
Saat ini Pemerintah memang sedang bekerja keras meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Untuk itu, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Sistem Elektronik.
“Dengan aturan ini, Pemerintah akan mengenakan PPN sebesar 10 persen bagi produk-produk PMSE seperti layanan streaming musik dan film Netflix maupun Spotify yang mulai berlaku 1 Juli 2020 mendatang. Tujuannya untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha dalam dan luar negeri baik konvensional maupun digital," urai Hergun, sapaan akrabnya, dalam sesi wawancaranya via Whatsapp, Sabtu (6/6/2020), yang dikutip dari laman berita dpr.go.id.
Baca: Komisi VII DPR Minta PLN Jelaskan Secara Rinci Penyebab Tagihan Listrik yang Melonjak
Ditambahkan politisi Partai Gerindra ini, penerapan pajak digital saat ini semakin penting seiring dengan terus naiknya pengguna dan penyedia layanan digital yang beroperasi di Indonesia.
Terlebih dengan adanya pandemi ini pajak digital bisa menjadi sumber pendapatan negara baru untuk menutup defisit APBN. Jadi, terobosan sumber penerimaan ini harus didukung.
Baca: Komisi V DPR Desak Pemerintah Tinjau Ulang Kebijakan Tapera
“Saya kira upaya ini tentu dapat menambah penerimaan negara. Bagaimanapun juga, sektor usaha yang mengambil keuntungan ekonomi dari operasionalnya di negara kita, ideal dan harusnya mematuhi ketentuan PMK tersebut. Perusahaan yang beroperasi dan memperoleh pendapatan dari Indonesia, mau ditarik-in pajak, masa dibilang diskriminasi?" ungkap legislator dapil Jawa Barat IV Itu.
Pernyataan Hergun itu juga sekaligus menanggapi pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang tidak terima perusahaan-perusahan asal AS dikenakan skema pajak seperti dalam PMK. Trump sendiri mengaku akan menginvestigasi rencana pengenaan pajak tersebut.
“Ancaman Presiden Trump yang akan menginvestigasi rencana pengenaan pajak layanan perusahaan digital asal Negeri Paman Sam itu, karena khawatir terhadap skema pajak yang tidak adil, saya kira itu sangat berlebihan. Kalau Trump bisa bilang Make America Great Again, ya bayar pajaknya dong. Masa nyari duit di Indonesia gak mau bayar pajak?” seru Hergun.
Diungkapnya, transaksi perusahaan AS ini rerata tidak dilakukan di dalam negeri. Pelanggan diwajibkan mentransfer biaya berlangganan pada rekening perusahaan di luar negeri. Ini adalah bukti konkret kebocoran ekonomi Indonesia.
Baca: Pimpinan Komisi II DPR Sebut Golkar dan PDIP Ingin Sistem Proporsional Tertutup Saat Pemilu 20224
Regulator dahulu belum punya banyak upaya dalam mengejar penerimaan yang nyata. Ujungnya regulator pajak hanya bisa mengejar para wajib pajak dalam negeri.
“Memang, persoalan ini menjadi isu besar terlepas dari apakah dimaknai akan memunculkan perang dagang dengan negara asal perusahaan tersebut. Yang jelas bagi negara kita, berbagai potensi pajak yang ada tentu harus dioptimalkan. Pemerintah sendiri melalui Omnibus Law sedang merancang aturan untuk mengenakan pajak bagi perusahaan over the top (OTT) yang beroperasi di Indoensia, seperti Netflix, Spotify, dan lainnya," kata Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini.
Termasuk Google, Facebook. Amazon, yang selama ini bukan Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Lewat Omnibus Law, sambungnya, definisi BUT ini akan diubah dari semula berdasarkan keberadaan fisik kantornya di Indonesia, menjadi atas dasar kegiatan ekonomi yang dijalankan di Indonesia.
Baca: Menag Soal Pembatalan Pemberangkatan Haji 2020: Tidak Ada Niatan untuk Langkahi DPR
Selama ini, perusahaan-perusahaan itu tidak tersentuh regulasi pajak.
Bila aturan untuk pengenaan pajak bagi OTT ini sudah ada, tanpa mereka menjadi BUT, negara bisa memperoleh penerimaan dari usaha yang mereka jalankan di Indonesia. Tinggal dilihat skema pajak yang akan diberlakukan Pemerintah, adil atau tidak.
"Selama pengenaan pajak itu diberlakukan sama dan adil bagi semua pelaku usaha, saya kira mereka juga tidak boleh mempersoalkan, karena Indonesia negara berdaulat," tutup Hergun. (*)