Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi X DPR: Tidak Kontekstual Menggabung Pelajaran Agama dengan PKn

Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki menilai wacana menggabungkan mata pelajaran agama dengan Pkn sangat tidak kontekstual.

Editor: Content Writer
zoom-in Komisi X DPR: Tidak Kontekstual Menggabung Pelajaran Agama dengan PKn
Eno/Man (dpr.go.id)
Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki menilai wacana menggabungkan mata pelajaran agama dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangat tidak kontekstual, bahkan cenderung ahistoris.

Wacana itu muncul saat Focus Group Discussion (FGD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) baru-baru ini.

Baca: Tiga Kebijakan Kemendikbud Bantu Mahasiswa dan Sekolah Terdampak COVID-19, Apa Saja Itu?

“Kalau ada ide seperti itu, ya tentu tidak kontekstual dan ahistoris. Artinya, pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya dan akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius. Begitu juga kalau isi kurikulumnya pendidikan agama dikurangi jam, agama menjadi digabung dengan budi pekerti, PKn, jamnya menjadi sangat sedikit. Itu tidak mencerminkan akar budaya bangsa,” katanya dalam rilis yang diterima Parlementaria, Kamis (18/6/2020).

Ditegaskan Zainuddin, para Founding Fathers Bangsa Indonesia dulu merumuskan Pancasila dan kemudian menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius.

Memang ada negara-negara barat yang menjadikan agama tidak sebagai mata pelajaran, tetapi itu kan akar budayanya berbeda dengan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Baca: Kemendikbud Gelontorkan Dana Rp 1 Triliun untuk Bantu Perguruan Tinggi, Kampus Swasta Jadi Prioritas

"Ketika saya ke SMA Trinity di London, saya memperoleh penjelasan di sana bahwa pelajaran agama itu diajarkan di Inggris mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Pelajaran agama diajarkan selama itu. Saya pulang itu membawa buku pelajaran agama untuk SMP. Karena siswanya banyak, agamanya berbeda-beda, maka di dalam bukunya itu ada pelajaran agama yang macam-macam tetapi di satu buku pelajaran agama. Di dalamnya ada pelajaran agama Kristen, Katolik, Konghucu, Islam, Hindu, Budha, dan agama lainnya dalam satu buku," jelasnya.

Menurut politisi PAN itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebenarnya juga mengacu konsep seperti itu.

Berita Rekomendasi

Dalam mata pelajaran agama, siswa diajarkan sesuai agamanya. Misalnya, di Madrasah ada anak Katolik, tetap harus dijarkan agama Katolik walaupun dia hanya sendiri.

Baca: Beredar Kabar Bakal Ada Peleburan Mata Pelajaran Agama dan PPKN, Ini Bantahan Kemendikbud

Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik, maka harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut.

"Begitulah yang terjadi di Inggris. Nah, Inggris saja menempatkan agama secara khusus seperti itu. Lah, Indonesia yang punya akar budaya bangsa yang religius, saya kira pelajaran agama harus mendapatkan porsi yang proporsional di dalam kurikulum kita. Karena gagasan ini belum digulirkan dan konsepnya belum menjadi konsumsi publik, saya kira jangan ada pemikiran kurikulum itu disusun tidak berangkat dari akar budaya bangsa yang religius,” ungkap legislator dapil Jawa Timur X itu. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas