Anggota Komisi I DPR RI Soroti Kecilnya Anggaran Penegakan Hukum Kemenlu untuk Upaya Penegakan Hukum
Anggota Komisi I DPR Hasanuddin menyoroti kecilnya anggaran penegakan hukum Kemenlu tentang penegakan hukum dan proposal perdamaian Ukraina-Rusia
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin meminta Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mengupayakan peningkatan penegakan hukum. Pasalnya, berdasarkan informasi yang diterima, anggaran penegakan hukum dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian Luar Negeri Tahun 2024 hanya sebesar Rp 7,5 miliar.
Maka itu, ia berharap pembahasan peningkatan anggaran dapat dibahas lebih lanjut usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato pada 16 Agustus 2023 mendatang.
“Diharapkan nanti akan ada kesempatan untuk dapat dibahas lebih detail setelah pidato Presiden Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2023. Dengan demikian, kita bisa melakukan diskusi lebih lanjut soal penegakan hukum, mengapa hanya Rp 7,5 miliar dan yang lain-lain akan didiskusikan juga,” ungkap Hasanuddin, dikutip dari keterangan persnya, Selasa (6/6/2023).
Hal itu disampaikan Hasanuddin usai ditemui dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa.
Di sisi lain, Politisi Fraksi PDI-P itu turut mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia ketika Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menyampaikan Proposal Perdamaian untuk Ukraina-Rusia dalam International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue Ke-20, Sabtu (3/6/2023).
Ia mengatakan, masalah ini cukup menjadi perhatiannya lantaran muncul penolakan dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Ukraina dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Ukraina.
Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah Indonesia melalui kementerian dan lembaga yang mewakilinya untuk saling berkonsolidasi. Dengan demikian, poin-poin yang disampaikan dalam forum tersebut sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sekaligus dekat dengan realita yang terjadi saat ini.
“Image-nya jadi kurang baik. Pertama, dianggap tidak tahu lapangan. Kedua, kita masuk pada ranah-ranah yang sesungguhnya kurang tepat dan itu sangat merugikan politik luar negeri kita,” tutupnya.