Gara-gara Asahi Shimbun, Jepang Terpaksa Bayar Kompensasi 1 Miliar Yen kepada Korsel
Kesepakatan Jepang dengan Korea Selatan baru-baru ini membuat beberapa orang Jepang gerah dan mengkritik.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Kesepakatan Jepang dengan Korea Selatan baru-baru ini membuat beberapa orang Jepang gerah dan mengkritik.
Mereka menganggap seharusnya tidak perlu dilakukan karena semua itu gara-gara koran Asahi Shimbun yang menyajikan berita palsu mengenai jugun ianfu (wanita penghibur tentara kerajaan Jepang).
"Kesepakatan tak perlu terjadi karena semua ini semua berawal dari pemberitaan Asahi Shimbun yang tak benar selama ini mengenai jugun ianfu," ungkap sumber Tribunnews.com, Kamis (31/12/2015).
Kasus jugun ianfu jadi membesar karena muncul di Asahi Shimbun antara tahun 1980-1990 sebanyak 16 seri tulisan yang dibuat oleh Yoshida.
Dalam tulisan itu Yoshida mengaku berdasarkan kesaksian seorang pria Jepang--yang kemudian diketahui palsu--yang menggambarkan kaum perempuan di Pulau Jeju, Korea, dipaksa bekerja di lokalisasi pelacuran.
Sebuah laporan panel independen menyebut Asahi gagal mengambil langkah untuk memverifikasi kesaksian pria Jepang itu meski validitas pernyataannya kemudian dipertanyakan.
Pimpinan Asahi Shimbun pun minta maaf akhirnya pada bulan Agustus 2014.
"Izinkan kami meminta maaf sedalam-dalamnya karena menyebabkan masalah dan keprihatinan terkait liputan perempuan penghibur," ujar Masataka Watanabe, presiden Asahi, ketika menerima laporan dari seorang anggota panel.
"Saya berjanji akan melaksanakan reformasi untuk membangun kembali Asahi Shimbun dari bawah," katanya.
Perdana Menteri Shinzo Abe pun kesal dengan pemberitaan tersebut.
"Tulisan tersebut telah menodai citra Jepang di mata internasional, tetapi laporan panel tersebut menyimpulkan bahwa artikel Asahi tidak berdampak besar pada masyarakat internasional," kata Abe.
Asahi memang memiliki kedudukan unik di antara koran-koran terkemuka Jepang karena pandangan liberalnya, bertolak belakang dengan harian Mainichi yang moderat dan Yomiuri dan Sankei yang konservatif dan seringkali menyuarakan kembali posisi pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe.
"Itulah sebabnya kasus ini membesar gara-gara hal yang palsu tersebut, jelas membuat susah Jepang saja sehingga akhirnya harus melobi Korea kembali dan memberikan kompensasi 1 miliar yen yang sebenarnya tak perlu dilakukan," ujarnya.