Mengenal Gulen, Musuh Erdogan yang Peduli dengan Pendidikan
ETHULLAH Gulen, ulama berusia 75 tahun yang kini menetap di Amerika Serikat, kembali menjadi buah bibir di Turki.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM - FETHULLAH Gulen, ulama berusia 75 tahun yang kini menetap di Amerika Serikat, kembali menjadi buah bibir di Turki.
Sebab, Gulen disebut-sebut sebagai dalang kudeta militer yang gagal menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Bukan kali ini saja Gulen dituding hendak menggulingkan Erdogan.
Beberapa tahun lalu saat skandal korupsi dan suap menjerat orang-orang dekat Erdogan, nama Gulen kembali dituduh sebagai penggerak penyidikan polisi dan kejaksaan saat itu.
Lalu siapakan Fethullah Gulen pendiri "Gerakan Gulen" dan pernah menjadi sekutu dekat Recep Tayyip Erdogan?
Meski membantah menjadi dalang kudeta gagal di Turki, menarik melihat perkembangan konflik Fethullah Gulen dengan Tayip Erdogan.
Konflik keduanya bermula saat pemerintah Turki mengeluarkan kebijakan untuk menutup beberapa pusat pendidikan swasta yang terkenal dengan nama gerakan FATIH.
Intinya adalah mengatasi kekurangan pengajar pendidikan negara dan sekaligus mengurangi beban biaya pada banyak keluarga tanpa mengorbankan kualitas dan mutu pengajaran.Gulen merupakan ulama yang mengikuti ajaran sufi Islam terkemuka Turki, Bediuzzaman Said Nursi seorang ahli agama berdarah Kurdi yang menulis Risale I-Nur sebuah tafsir Al Quran setelal 6.000 halaman yang ditulis antara 1910-1950.
Gulen banyak disebut terpengaruh dengan ide-ide Said Nursi, Inti dari buku ini adalah Said Nursi yakin bahwa ilmu pengetahuan dan logika adalah jalan yang harus dijalani di masa depan.
Dia juga mengusulkan pengajaran agama di sekolah-sekolah sekuler dan pelajaran sains di sekolah-sekolah keagamaan.
Gulen membuka pusat-pusat pendidikan swasta terkenal dengan nama 'Gerakan Hizmet'.Gulen pun mendapatkan pengaruh luar biasa dari masyarakat Turki.
Gulen lahir di desa Korucuk, dekat kota Erzurum pada 27 April 1941.
Ayahnya, Ramiz Gulen adalah seorang ulama di desanya.Sementara sang ibu, adalah guru Al Quran yang tetap mengajarkan ilmu agama meski pemerintah Turki melarang pengajaran agama semacam itu.
Gulen memulai pendidikan dasar di desa kelahirannya itu tetapi tak melanjutkan sekolah setelah keluarganya pindah ke tempat lain.
Dia kemudian menempuh pendidikan Islam di sejumlah madrasah di Erzurum dan memberikan khotbah pertamanya saat baru berusia 14 tahun.
Konflik keduanya semakin meruncing pada tahun 2012, saat jaksa Turki mengungkapkan bahwa seorang perwira intelijen telah terlibat dalam pertemuan-pertemuan rahasia dengan PKK (Partai Komunis Kurdi), sebuah gerakan pembebasan Kurdi.
Mencuatnya hal ini mulai menyebabkan konflik antara partai AKP pimpinan Erdogan dan gerakan Gulen, dimana Erdogan melihat langkah kejaksaan yang notabene dianggap sebagai agen Gulen sebagai tindakan yang secara langsung menargetkan dirinya.
Akibatnya, parlemen mengesahkan undang-undang yang mempersyaratkan persetujuan perdana menteri atas segala tindakan pejabat intelijen.
Hubungan antara partai Erdogan dan kelompok Gulen semakin berubah, ketika wartawan yang berafiliasi ke Gulen mengangkat dua tulisan tentang perdana menteri sebagai " otoriter" dan "diktator".
Perlu dicermati pula mengapa Gulen lebih memilih tinggal di Amerika Serikat ketimbang di negaranya sendiri, Turki.
Terlebih lagi sikap Gulen yang memilih membela Tel Aviv saat kapal Mavi Marmara diberondong tentara 2010 silam saat hendak memberikan bantuan ke jalur Gaza.
Para pendukung Gulen, yang banyak bekerja di institusi kehakiman dan kepolisian, mendukung upaya menyingkirikan musuh pemerintah, khususnya anggota militer, yang diduga merancang upaya kudeta.
Namun, keduanya menjadi musuh besar setelah pada 2013, Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang berkuasa menuding Gulen merancang tuduhan korupsi yang menjerat sejumlah pejabat senior dan putra Erdogan, Bilal.
Menyusul dugaan kasus korupsi itu, pemerintahan Erdogan menggelar pembersihan untuk menyingkirkan para pendukung Gulen dari posisi kemiliteran, polisi dan kehakiman.
Para jurnalis dan media massa yang diduga memiliki keterkaitan dengan Gulen juga menjadi sasaran pembersihan.
Pada Maret 2013, pemerintah Turki mengambil alih harian terbesar negeri itu Zaman, setelah menempatkan perusahaan induk koran itu di bawah pengawasan negara.
Pasca-upaya kudeta pada pekan lalu, kembali puluhan ribu orang yang dianggap pengikut Gulen ditangkap atau dipecat dari pekerjaan mereka.
Ajaran Nursi Berperan Penting di Turki
Ajaran Said Nursi inilah yang menjadi inspirasi gerakan iman yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan Islam di Turki.
Hakan Yavuz, pakar Islam dari Universitas Utah, AS mengatakan, Gulen dalam pemikirannya adalah seorang nasionalis Turki.
Gulen, menurut Yavuz, mengkritik transformasi Turki atau komunitas Muslim lainnya di bawah tokoh-tokoh semacam Kemal Ataturk atau Reza Shah Pahlevi di Iran.Namun, di sisi lain, Gulen juga konsisten menolak fundamentalisme Islam seperti yang dipraktikkan Taliban atau Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Sementara itu, Profesor Sayyid Abd al-Bari dari Universitas Al Azhar, Kairo dalam wawancara dengan harian Zaman akhir tahun lalu, menganggap Gulen adalah sosok ulama yang lewat ajarannya yang damai, dia berusaha maksimal menghormati kemanusiaan.
Gulen juga berulang kali menyatakan bahwa dia sangat mempercayai ilmu pengetahuan, dialog antaragama dan demokrasi multi-partai."Belajar fisika, matematika dan kimia sama dengan menyembah Tuhan," ujar Gulen berulang kali dalam berbagai dakwahnya.Dia juga melakukan berbagai inisiatif dialog antaragama misalnya dengan Vatikan, gereja Ortodoks dan dengan beberapa organisasi Yahudi.
Mengasingkan diri
Gulen pensiun dari urusan dakwah pada 1981 meski kemudian pada 1988-1991 masih memberikan dakwah di beberapa masjid besar di Turki.Meski memiliki banyak pengikut, Gulen tak berkomentar saat pemerintah Turki membubarkan partai-partai politik berhaluan Islam pada 1998-2001.
Di masa-masa itu, Gulen juga bertemu dengan sejumlah politisi seperti Tansu Ciller (PM Turki 1993-1996) dan Bulent Ecevint (PM Turki 1999-2002), tapi dia menghindari pertemuan dengan para politisi berhaluan Islam.Toh, Gullen harus meninggalkan Turki karena dianggap berupaya mendirikan negara Islam. Pada 1999 dia pergi ke AS dengan alasan untuk menjalani perawatan medis.
Banyak kalangan, langkah Gulen itu merupakan antisipasi upaya pemerintah menyeretnya ke pengadilan karena sejumlah pernyataan yang dianggap mendukung pendirian sebuah negara Islam.
Pada Juni 1999, setelah Gulen meninggalkan Turki, rekaman video dikirim ke sejumlah stasiun televisi yang isinya adalah salah satu pernyataan Gulen.
"Sistem yang ada saat ini masih berkuasa. Kawan-kawan kita yang memiliki kedudukan di badan legistlatif dan pemerintahan harus mempelajari sistem ini dan tetap siap setiap saat sehingga mereka bisa mengubah sistem ini agar lebih bermanfaat bagi Islam demi melaksanakan restorasi menyeluruh," kata Gulen dalam video itu
."Namun, mereka harus menanti hingga kondisi benar-benar memungkinkan. Dalam kata lain, mereka jangan muncul terlalu cepat," tambah Gulen.
Gulen mengklaim, pernyataannya diartikan salah dan para pendukungnya mempertanyakan keaslian rekaman video tersebut yang disebut telah dimanipulasi.
Pemerintah Turki mengadili Gulen secara in absentia pada 2000, tetapi PM Erdogan dan partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang baru berkuasa membebaskan Gulen dari hukuman pada 2008.Dan terbukti, saat itu, Gulen dan ribuan pengikutnya di Turki sangat bermanfaat bagi Erdogan sebelum menjadi musuh pemerintah Turki.
Beberapa pandangan Gulen
Gulen dikenal sebagai pengkritik sekularisme Turki. Namun, secara umum Gulen menganggap sekularisme yang tidak anti-terhadap agama dan memberi kebebasan seseorang untuk memeluk agama atau kepercayaan sejalan dengan ajaran Islam.
Menurut Gulen, di negeri-negeri demokratis dan sekuler justru 95 persen prinsi-prinsip ajaran Islam dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga, kata Gulen, tak ada manfaatnya untuk memperjuangkan sisa yang hanya lima persen itu.Gulen juga dikenal sangat mendukung upaya pemerintah Turki menjadi anggota Uni Eropa.
Dia berulang kali mengatakan Uni Eropa dan Turki tak memiliki masalah untuk dikhawatirkan tetap justru banyak hal yang bisa diraih bersama.
Gulen juga dikenal sangat mengecam terorisme dan kekerasan terhadap warga sipil karena hal-hal semacam itu tak mendapatkan tempat di dalam Islam.
Dia menulis artikel di harian Washington Post sehari setelah tragedi 11 September di New York yang menewaskan ribuan orang.Dalam artikel itu Gulen menyebut seorang Muslim tak bisa menjadi teroris dan seorang teroris bukan Muslim sejati.
Dalam artikel yang sama dia juga mengecam apa yang disebutnya "pembajakan Islam" oleh para teroris.
Namun, ada beberapa pandangan Gulen yang bertentangan dengan pemerintah Turki salah satunya adalah soal insiden Mavi Marmara yang menewaskan para aktivis Turki.
Dia mengkritik, upaya pengiriman bantuan kepada penduduk Gaza tanpa sepengetahuan pemerintah Israel yang saat itu memblokade perairan di dekat wilayah kantung Palestina tersebut.
Gulen mengatakan, kematian para aktivis merupakan sebuah hal yang mengerikan tetapi kelalaian penyelenggara untuk memberitahu pemerintah Israel tak bisa diabaikan begitu saja.
"Itu adalah sebuah upaya mengabaikan pemerintah setempat dan hal semacam itu biasanya tidak akan berbuah kebaikan," kata Gulen saat itu.Soal konflik Suriah, Gulen sangat menentang keterlibatan Turki di negeri yang dikoyak perang itu. Dia menolak keinginan pemerintah Turki menggulingkan Bashar al-Assad tetapi mendukung intervensi militer terhadap ISIS. (tribunnews)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.