Takut Terlantar, Seorang Ibu di China Membunuh Putranya yang Cacat
Ibu berusia 83 tahun itu -yang hanya diidentifikasi sebagai Huang- dinyatakan bersalah karena membunuh putranya Li.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, CHINA - Kasus seorang ibu tua yang membunuh putranya sendiri yang menyandang cacat mengundang berbagai tanggapan emosional dari para pengguna media sosial di Cina.
Ibu berusia 83 tahun itu -yang hanya diidentifikasi sebagai Huang- dinyatakan bersalah karena membunuh putranya Li.
Dia memberikan sekitar 60 pil tidur kepada putranya yang berusia 46 tahun, pada tanggal 9 Mei dan mencekiknya dengan selendang sutra setelah menutup lubang hidungnya dengan kapas.
Vonis bersalah diputuskan oleh Pengadilan Menengah Rakyat di Guangzhou dan dia diganjar hukuman percobaan tiga tahun penjara.
Baca: Akun Twitter Presiden Donald Trump Tiba-tiba Dinonaktifkan, Ada Apa?
Huang mengatakan mencabut nyawa putranya karena khawatir jika dia meninggal maka tidak akan ada lagi yang merawat Li, yang lahir prematur dengan keterbelakangan mental dan masalah jasmani sehingga tidak mampu berbicara maupun berjalan.
Jaksa penuntut bertanya kepadanya kenapa tidak mengusahakan agar Li dirawat oleh abangnya namun dia menjawab tidak siap untuk memberi beban kepadanya.
"Adalah kesalahan saya melahirkannya dan membuatnya menderita. Saya lebih memilih membunuhnya daripada membiarkan dia dengan orang lain," jelas Huang di ruang sidang.
"Selama dua tahun belakangan kesehatanku semakin memburuk untuk bisa merawatnya."
"Saya makin tua dan makin lemah dan mungkin meninggal sebelum dia. Pikiran membunuh dia muncul sepekan sebelumnya."
Hakim Wan Yunfeng kemudian menyatakan, "Dia berhak mendapat pengampunan walau melanggar hukum."
Reaksi di media sosial
Kasus Huang ini menjadi viral di media sosial Cina, Weibo, dan salah satu tanggapannya mengangkat kesulitan yang dihadapi penyandang cacat dan keluarganya.
"Di negara ini, kesehatan mental dan cacat bisa membuat kehidupan warga biasa menjadi bencana. Bagi mereka, bantuan yang didapat sama sekali tidak cukup," tulis Yuangungun DeXueqiu.
Perdebatan tentang eutanasia -atau tindakan mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja- juga terangkat kembali akibat kasus ini. Seorang pengguna Weibo berpendapat, "Hal ini terjadi karena eutanasia tidak dilegalkan."
Namun tak semuanya sependapat. Misalnya ada yang menulis, "Hal ini tidak ada urusan dengan eutanasia, namun dengan masalah kesejahteraan sosial saat ini."
Menurut Federasi Orang Disabel Cina, terdapat 2,7 juta jiwa penyandang ketidakmampuan fisik di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.
Namun hanya terdapat 6.740 dinas layanan penyandang cacat, yang mampu memberi perhatian kepada sekitar 204.000 penyandang cacat apapun.
Oleh karena itu beban untuk merawat penyandang cacat di Cina sering kali berada di keluarga, seperti yang diungkapkan oleh pengguna Weibo lainnya, "Masalahnya terletak di kesejahteraan sosial dan sistem pengamanan (sosial) yang jauh dari sempurna."