Pemerintahan Pusat Jepang Pernah Ingin Dipindahkan ke Luar Tokyo
Pemerintahan pusat Jepang yang ada di Tokyo dulu sempat ingin dipindahkan ke luar Tokyo sejak tahun 1990-an khususnya tahun 1999.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo di Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Belum lama ini Presiden RI Joko Widodo mewacanakan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke daerah lain di luar Jawa.
Rencana pemindahan pusat pemerintahan negara ini ternyata juga pernah terjadi di Jepang.
Pemerintahan pusat Jepang yang ada di Tokyo dulu sempat ingin dipindahkan ke luar Tokyo sejak tahun 1990-an khususnya tahun 1999, berdasarkan usulan dari para anggota parlemen Jepang.
"Saya menentang sekali pemindahan itu. Bodoh sekali ide tersebut," ungkap mantan Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara (86) pada tahun 2001.
Bahkan sejak itu Shintaro Ishihara--yang saat itu Gubernur Tokyo (23 April 1999 – 31 Oktober 2012)-- membuat poster khusus dengan tangan kiri menunjukkan ibu jari ke bawah tanda menentang di atas poster Menentang Pemindahan Ibu Kota.
Upaya menentang tersebut juga ditempel pada bus-bus di Tokyo poster besar menuliskan penentangan pemihan ibu kota ke luar Tokyo.
"Saat itu rencana pemindahan pusat pemerintahan ke dua tempat, satu ke Nasu Perfektur Tochigi terutama untuk gedung parlemen pindah ke sana," papar sumber Tribunnews.com, Kamis (16/5/2019).
Satu lagi usulan pindah ke Gifu sebagai pusat pemerintahan untuk eksekutif pemerintahan seperti kantor perdana menteri.
"Dengan pemindahan pusat pemerintahan tersebut diharapkan kepadatan Tokyo berkurang dan pemerataan penghasilan serta ekonomi lebih menyebar luas di Jepang," kata dia.
Untuk pemindahan itu per tahun 2000 sudah terhitung sedikitnya dua triliun yen dana dibutuhkan.
Ishihara menganggap hanya sebagai buang-buang uang pajak rakyat yang tak ada gunanya sehingga menentang keras pemindahan tersebut.
Ibu kota Jepang yang sekarang secara de facto berada di Tokyo.
Di Jepang, istilah "ibu kota" (shuto) baru dikenal orang setelah Perang Dunia II berakhir.
Sebelumnya, Tokyo sejak tahun 1868 merupakan ibu kota kekaisaran (teito).
Istilah "ibu kota" baru dikenal secara luas setelah ditetapkan Undang-undang Pembangunan Ibu Kota (Shuto kensetsu-hō) tahun 1950 yang tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya Undang-undang Konsolidasi Daerah Metropolitan (Shutoken seibi-hō) tahun 1959.
Hingga kini, kedudukan Tokyo sebagai ibu kota Jepang tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Namun pada praktiknya, Tokyo diperlakukan sebagai ibu kota Jepang dalam penulisan hukum dan undang-undang.
Tokyo diperlakukan secara de facto sebagai ibu kota karena menurut Konstitusi Jepang, Kaisar Jepang sebagai "lambang negara Jepang dan simbol pemersatu rakyat Jepang" dan istana kaisar berkedudukan di Tokyo.
Selain itu, lembaga-lembaga pemerintah seperti Parlemen Jepang, Kantor Perdana Menteri (Kantei) dan Mahkamah Agung Jepang yang ditetapkan konstitusi sebagai "lembaga tertinggi negara" berada di distrik Chiyoda, Tokyo.