Dubes Palestina Sebut Koferensi di Bahrain Sebagai Langkah Amerika Bermain Licik
Pemerintah Palestina secara tegas memboikot Konferensi ekonomi yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) yang digelar di Manama, Bahrain, 25-26 Juni 2019.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Palestina secara tegas memboikot Konferensi ekonomi yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) yang digelar di Manama, Bahrain, 25-26 Juni 2019.
Pernyataan tersebut disampaikan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al Shun.
Ia mengatakan pemerintah Palestina tidak melihat adanya hal yang membawa kebaikan bagi rakyat Palestina dalam konferensi yang dikenal sebagai 'Deal of the Century atau Kesepakatan Abad Ini'.
Konferensi tersebut dianggap sebagai langkah strategis AS dalam melancarkan agenda liciknya di tanah Palestina.
Baca: Ketua RT Ungkap Gaya Hidup Muzdalifah Berubah Semenjak Menikah dengan Nassar
Baca: KPK Bekali Pelaku UKM di Ngawi Tentang Upaya Pencegahan Korupsi
Baca: Sidang MK Jadi Pembelajaran Hukum Bagi Masyarakat
Baca: Moeldoko: Pembatasan Medsos Saat Putusan MK Situasional
Terutama agenda yang memberikan keuntungan bagi para pengusaha real estate AS.
"Konferensi ini adalah bagian dari langkah Amerika untuk bermain licik di tanah Palestina," ujar al Shun, di Kedutaan Besar Palestina, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019).
Karena itu, pemerintah Palestina pun memutuskan tidak mengirimkan delegasi mereka dalam konferensi tersebut.
Hal itu menjadi pertanda bahwa meskipun AS mengklaim bahwa konferensi diadakan untuk membangkitkan perekonomian Palestina.
Namun pemerintah Palestina tidak menganggap hal tersebut sebagai 'bantuan'.
Boikot yang dilakukan Palestina terhadap konferensi tersebut bahkan diistilahkan al Shun sebagai 'calon pengantin yang tidak menghadiri pernikahannya sendiri'.
"Pemerintah Palestina sama sekali tidak mengikuti rentetan-rentetan cara yang ada, ini merupakan sebuah tanda yang sangat jelas," ujar al Shun.
Apa yang telah diinisiasi AS ini disebut-sebut akan makin memperburuk dan menyulitkan kehidupan rakyat Palestina.
Tak kirim delegasi
Digelarnya konferensi ekonomi bertajuk 'Peace for Prosperity' di Manama, Bahrain, pada 25 dan 26 Juni 2019 tidak mendapat respons positif dari Palestina.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al Shun pun menyampaikan kecamannya melalui konferensi pers yang digelar di Kedutaan Besar Palestina, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019).
Sebagai bentuk penolakan terkait konferensi itu, Palestina pun tidak mengirimkan utusannya dalam konferensi yang disebut Deal of the Century yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) untuk perdamaian Palestina-Israel.
Baca: Putra Sulungnya Ulang Tahun yang Ke-20, Ridwan Kamil Banjir Tawaran jadi Calon Besan
Baca: OYO Hotels Berhasil Jadi Jaringan Hotel Terbesar di China
Menurutnya, konferensi itu hanya 'kedok' karena nantinya hasil rekomendasi dari agenda tersebut akan membuat rakyat Palestina semakin berada pada posisi sulit.
"Konferensi yang diadakan di Manama, merupakan konferensi yang nantinya akan menghasilkan poin-poin rekomendasi yang akan menyulitkan dan akan membuat rakyat Palestina menjadi lebih sulit lagi," ujar al Shun dalam konferensi tersebut.
Ia menegaskan, pihaknya memboikot konferensi tersebut karena sejak awal menilai tidak akan ada keuntungan yang diperoleh Palestina.
Bertema ekonomi, al Shun menganggap apa yang sedang diupayakan saat ini melalui konferensi tersebut hanya akan menguntungkan AS saja.
"Pada konferensi yang berlangsung di Manama ini, pihak pemerintah Palestina sama sekali tidak mengikuti dalam rentetan-rentetan cara yang ada," ucap al Shun.
Tidak yakin
Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun tidak yakin terhadap upaya Amerika Serikat khususnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel.
Keraguan tersebut muncul karena ia melihat Trump sangat menunjukan keberpihakannya kepada Israel yang tampak dari kedekatan Trump dengan Calon Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu dalam Pemilu di Israel.
Hal itu disampaikan Zuhair di kantor Kedutaan Besar Palestina di Menteng Jakarta Pusat pada Jumat (17/5/2019).
"Karena sekarang kita sudah lihat dalam Pemilu Israel, Trump berada di belakang Netanyahu sampai akhir proses tersebut. Dari hal itu pun tidak menunjukan keberpihakan pada kami. Kami sangat yakin, ini hanya permainan saja. Saya tidak yakin Trump ingin menjadi mediator dalam perdamaian tersebut," kata Zuhair.
Baca: Polri Persilakan Amnesty International Serahkan Temuannya Soal Kerusuhan 22 Mei Pada Tim Investigasi
Diberitakan Kompas.com, Penasihat senior Amerika Serikat (AS) Jaredh Kushner angkat bicara soal rencana perdamaian di Timur Tengah antara Israel dan Palestina.
Kushner yang juga menantu Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu menuturkan, Gedung Putih telah mengembangkan "cetak biru" rencana perdamaian disertai visi ekonomi.
Berbicara di Washington Institute for Near East Policy, Kushner mengungkapkan tentang solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Israel serta Palestina.
"Jika Anda menyebutkan solusi itu, tentunya satu bagian kepada Israel, satu bagian lagi kepada Palestina," terang Kushner dilansir New York Post Jumat (3/5/2019).
Baca: Indonesia Pimpin DK PBB, Dubes Palestina Harap Indonesia Lunakkan Amerika dan Israel
"Kami akan berkata 'Anda tahu, jangan katakan itu. Mari katakan, ayo fokus kepada detil yang menjadi rencana ini'," ujarnya.
Namun Kushner dikutip The Guardian menolak membeberkan rencana itu.
Meski begitu, dia memastikan status final antara Israel dan Palestina ketika diumumkan pertengahan 2019 ini.
Pimpinan Palestina telah menyatakan tidak akan menerima mediasi dari Trump, yang mereka anggap sudah membuat serangkaian kebijakan yang menguntungkan Israel.
Salah satunya adalah ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017, sekaligus memindahkan kedutaan besarnya ke sana.
Israel selalu menganggap kota suci bagi tiga agama itu sebagai ibu kota mereka. Namun, Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan.
Kushner mengungkapkan sang ayah mertua sempat bertanya kepadanya tentang bagaimana keputusan pengakuan Yerusalem itu bakal memberikan dampak ke depannya.
Dia menjawab awalnya bakal terasa pedih. Namun di masa depan dia merasa keputusan itu bakal membantu karena menurutnya, proses perdamaian harus dimulai dari mengakui sebuah kebenaran.
"Saya pikir ketika kami mengakui Yerusalem, itulah kebenarannya. Yerusalem merupakan ibu kota Israel. Itu bagian dari perjanjian akhir," ujarnya.
Kushner mengatakan, dia mengakui jika rencana perdamaian itu tidak akan langsung menemui kesuksesan. Tapi dia berharap rencana itu menggulirkan terobosan dan dialog.
"Kami membangun bisnis yang bagus dengan komponen ekonomi kuat tentang bagaimana rakyat Palestina bisa mendapat peningkatan ekonomi," tukas Kushner.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sempat berjanji bakal menduduki permukiman di Tepi Barat. Sebuah langkah yang bakal dikecam keras Palestina maupun Dunia Barat.
Kushner menuturkan Israel tentu bakal berkompromi. "Saya harap semua pihak bisa saling memahami sebelum membuat keputusan," papar suami Ivanka tersebut.