Pakar Timur Tengah Sebut Iran Marah dan Kemungkinan Balas Dendam pada AS atas Tewasnya Soleimani
Pakar Timur Tengah, Yon Machmudi mengatakan, Iran sangat marah kepada Amerika Serikat atas tewasnya Qasem Soleimani.
Penulis: Nuryanti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Pakar Timur Tengah, Yon Machmudi mengatakan, Iran sangat marah kepada Amerika Serikat atas tewasnya Qasem Soleimani.
Jenderal top Iran ini tewas diserang Amerika Serikat pada Jumat (3/1/2020) lalu.
Ia menyebut warga Iran akan balas dendam, karena menurutnya Ayatollah Ali Khamenei yang menyerukan balas dendam merupakan pemimpin tertinggi di Iran selain presiden.
"Di Iran, Ayatollah Ali Khamenei merupakan pemimpin tertinggi, meskipun ada presiden," ujar Yon Machmudi di Studio tvOne, Selasa (7/1/2020), dikutip dari YouTube tvOne News.
"Eskalasi (kenaikan) kemarahan itu saya kira akan besar," jelasnya.
Ia menyebut, balas dendam oleh Iran atas kemarahannya itu, bukanlah sesuatu yang bisa dianggap ringan.
"Apa yang dilakukan oleh pemimpin mereka untuk melakukan balas dendam, tentu sesuatu yang tidak bisa dipandang ringan," kata Yon.
Menurutnya, balas dendam itu akan bertahan lama.
"Ini sudah membekas, dan saya kira ini juga akan bertahan lama," ungkapnya.
Ia mengatakan, ada kemungkinan balas dendam dari Iran kepada Amerika Serikat.
Dampak dari balas dendam tersebut, menurutnya akan sangat besar.
"Saya kira balas dendam akan dilakukan, walaupun tentu dampaknya akan sangat besar," kata Yon.
Namun, Yon menyebut pembalasan dendam Iran lebih kepada cara dan taktik untuk mengganggu Amerika Serikat.
"Yang dilakukan oleh Iran tidak pada tataran terbuka, tapi lebih menggunakan segala cara," imbuhnya.
Selain itu, mengenai pembalasan dendam ini, dari pihak Amerika Serikat sendiri juga akan meningkatkan gangguannya pada negara lain, khususnya di Timur Tengah.
"Potensi gangguan Amerika Serikat akan meningkat, khususnya di Timur Tengah," ujar Yon.
Diberitakan Kompas.com, Iran berjanji akan melakukan balas dendam setelah Qasem Soleimani, tewas diserang Amerika Serikat.
Soleimani tewas bersama wakil pemimpin milisi Hashed al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis, di Bandara Internasional Baghdad, Irak.
Komandan Pasukan Quds itu tewas pada Jumat (3/1/2020) pekan lalu setelah konvoi mobil yang ditumpanginya dihantam rudal Amerika Serikat.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menyerukan "serangan balasan terhadap penjahat" yang menewaskan Soleimani.
Sementara Presiden Donald Trump beralasan, Jenderal Qasem Soleimani dibunuh demi "menghentikan perang, bukan memulainya".
Menurut lembaga kajian Inggris, International Institute for Strategic Studies, Teheran, diperkirakan memiliki 523.000 tentara aktif.
Jumlah itu mencakup 350.000 personel reguler dan 150.000 anggota Garda Revolusi yang merupakan cabang elite militer mereka.
Kemudian, terdapat 20.000 anggota Garda Revolusi yang masuk angkatan laut dan melakukan operasi di wilayah Selat Hormuz.
Garda Revolusi juga membawahkan Unit Basij, beranggotakan para relawan dan kadang dikerahkan untuk menumpas perlawanan dalam negeri.
Didirikan 40 tahun silam, Garda Revolusi berfungsi mempertahankan sistem Islam di Iran dan berkembang menjadi kekuatan utama di bidang militer hingga politik.
Senada dengan Ayatollah Ali Khamenei, putri jenderal Iran, Qasem Soleimani, memberi peringatan kepada Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Putri Soleimani, Zaenab menyatakan, Amerika Serikat dan sekutunya di Timur Tengah, Israel, bakal mendapatkan pembalasan.
"Hei Trump gila, jangan pikir segalanya bakal berakhir dengan mati syahidnya ayah saya," koar Zaenab melansir Sky News via Kompas.com, Senin (6/1/2020).
Berbicara di Universitas Teheran, Zaenab mengatakan, "rencana jahat" Trump adalah memisahkan Iran dan Irak melalui pembunuhan Soleimani.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Ardi Priyatno Utomo)