6 Monyet Terbukti Bisa Melawan Virus Corona setelah Diberi Vaksin, Meningkatkan Harapan pada Manusia
6 ekor monyet yang diberi vaksin virus corona percobaan terbukti mampu melawan Covid-19 meski diberi paparan berat
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - 6 ekor monyet yang diberi vaksin virus corona percobaan terbukti mampu melawan Covid-19 meski diberi paparan berat.
Suksesnya uji coba vaksin pada hewan meningkatkan harapan keberhasilan vaksin virus corona untuk manusia.
Seperti yang dilansir Business Insider, 6 monyet yang diberi vaksin buatan University of Oxford mampu bertahan dari virus corona selama 28 hari meski diberi paparan berat virus.
Percobaan pada monyet-monyet itu dilakukan pada akhir Maret oleh ilmuwan pemerintah di Rocky Mountain Laboratory di Hamilton, Montana, The New York Times melaporkan.
Enam monyet rhesus menerima vaksin yang diproduksi oleh Jenner Institute dan Oxford Vaccine Group.
Baca: Terbukti Efektif saat Digunakan Pada Monyet, Vaksin Oxford Corona Menuju Produksi Massal di India
Monyet-monyet itu kemudian menerima paparan tingkat tinggi virus corona yang diketahui sebelumnya telah membuat monyet lain sakit.
Namun, monyet-monyet yang telah diberi vaksin itu tidak menderita efek buruk.
Monyet-monyet tetap sehat setidaknya 28 hari kemudian, kata The Times.
"Monyet rhesus adalah yang paling dekat dengan manusia," kata Vincent Munster, kepala Unit Ekologi Virus di laboratorium, kepada The Times.
The Jenner Institute, yang merupakan bagian dari Oxford Vaccine Group, adalah institusi yang memimpin perlombaan global dalam hal penemuan vaksin virus corona.
Baca: Ilmuwan Oxford: Kami Targetkan Miliki 1 Juta Dosis Vaksin Virus Corona yang Siap September 2020
Pemerintah Inggris telah menjanjikan £ 20 juta, atau Rp 373 miliar untuk percobaan vaksin itu.
Vaksin yang diberikan kepada monyet rhesus itu diberi kode nama hAdOx1 nCoV-19.
Uji coba manusia telah dimulai dan diharapkan selesai pada bulan September.
Proses pengembangan vaksin memang terhitung lama, bahkan bisa siap pada bulan September saja terhitung sangat cepat.
Sebelumnya, pembuat vaksin terbesar di dunia, Serum Institute of India, mengatakan mereka tidak akan menunggu sampai uji coba vaksin berakhir.
Mereka justru memutuskan membuat 40 juta dosis terlebih dahulu untuk menghemat waktu jika vaksin itu berhasil.
Sinovac Biotech, sebuah perusahaan yang berbasis di Beijing, juga tengah mencari vaksin untuk virus corona.
Pekan lalu ditemukan bahwa vaksinnya juga tampaknya efektif pada kera.
Pencobaan manusia sekarang telah dimulai.
Manusia dan kera memiliki sekitar 93% DNA yang sama.
Namun, hanya karena vaksin bekerja pada kera bukan berarti vaksin juga akan berhasil pada manusia.
Kini sebanyak 80 vaksin virus sedang dalam pengembangan.
Tetapi beberapa pengembang tidak melalui tahap pengujian pada hewan untuk menghemat waktu.
Selain vaksin, ilmuwan juga tengah mencari obat yang cocok untuk mengobati Covid-19.
Salah satu obat yang dinilai memberi hasil yang menjanjikan adalah obat Ebola Remdesivir.
Diberitakan Tribunnews sebelumnya, sebuah rumah sakit di Chicago, Amerika Serikat memberikan obat remdesivir untuk pasien Covid-19, hasilnya pun cukup menjanjikan.
Pasien yang diobati dengan remdesivir mengalami pemulihan yang cepat untuk gejala demam dan masalah pernapasan.
Sementara itu, hampir semua pasien yang diberi remdesivir bisa sembuh dalam waktu kurang dari seminggu, berdasarkan laporan Business Insider yang mengutip data Stat News.
Remdesivir disebut sebagai satu di antara obat menjanjikan yang digunakan untuk mengobati pasien virus corona.
Laboratorium Gilead Sciences kini sedang menguji klinis obat tersebut.
Baca: Cerita Rita Wilson saat Diberi Klorokuin untuk Obati Covid-19: Alami Efek Samping yang Ekstrem
Jika hasilnya sudah keluar dan dinyatakan "aman dan efektif," kemungkinan besar obat itu akan langsung diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) atau badan pengawas obat-obatan lain.
University of Chicago Medicine merekrut 125 orang dengan Covid-19 ke dalam dua uji klinis Fase 3 Gilead.
Dari jumlah itu, 113 menderita penyakit parah.
Semua pasien telah diobati dengan remdesivir melalui infus setiap hari.
"Berita terbaiknya adalah sebagian besar pasien kami sudah pulang, dan ini luar biasa," ujar Kathleen Mullane, spesialis penyakit menular Universitas Chicago yang mengawasi penelitian remdesivir untuk rumah sakit.
"Kami memiliki dua pasien yang meninggal."
Namun hingga saat ini, belum ada satupun obat yang direkomendasikan oleh FDA untuk menangani Covid-19.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)