Media Asing Soroti Warga Indonesia yang Buka Peti Mati Korban Corona hingga Penumpang di Bandara
Pada Minggu (17/5/2020), 15 orang di Sidoarjo terinfeksi Covid-19 setelah membuka peti jenazah serta memandikannya.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada Minggu (17/5/2020), 15 orang di Sidoarjo terinfeksi Covid-19 setelah membuka peti jenazah serta memandikannya.
Sementara itu, di Jakarta kerumunan orang memadati Bandara Soekarno-Hatta di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Di Jawa Barat, ada seorang pasien Covid-19 yang menolak menjalani perawatan sampai nekat menulari tetangga dengan memeluk mereka.
Beberapa insiden yang disebabkan krisis kesehatan Covid-19 ini disoroti media asing SCMP berjudul 'Warga Desa di Indonesia Terjangkit Virus Corona setelah Membuka Peti dan Memandikan Jenazah Covid-19'.
Baca: Pelanggar PSBB di Jadetabek Tembus 70 Ribu Kasus
Contoh-contoh kejadian seperti ini menyoroti perjuangan berat yang sedang dihadapi Indonesia dalam meratakan kurva Covid-19.
Sebuah negara maritim dengan 270 juta penduduk yang tersebar di lebih 17.000 pulau.
Bahkan ketika angka infeksi semakin meninggi pada Rabu (20/5/2020), dengan catatan 18.496 infeksi dan 1.221 kematian, berita tentang orang-orang yang abai akan pembatasan sosial terus meningkat.
Meski ide lockdown ditolak oleh Presiden Joko Widodo karena berdampak pada ekonomi, Indonesia menerapkan PSBB di sejumlah kota.
Pembatasan ini memaksa perusahaan tutup atau bekerja dari rumah.
Pengecualian untuk sektor penting seperti air, bahan bakar, makanan, obat-obatan, dan lainnya.
Pembatasan ini telah diberlakukan sejak bulan lalu, tetapi para ahli mengatakan eksodus massal penduduk dari Jakarta yang terjadi sebelum adanya PSBB maupun larangan mudik telah merusak upaya menahan penularan Covid-19 di daerah-daerah.
"Kita harus cukup rendah hati untuk mengakui bahwa kita hanya pandai membuat kebijakan, belum dalam memantau dan mengoordinasikan implementasi (kebijakan-kebijakan itu) atau mengevaluasi hasil akhir," kata Muhammad Habib Abiyan Dzakwan, seorang peneliti dari Center for Strategic dan unit penelitian manajemen bencana International Studies (CSIS).
"Saya percaya bahwa pembatasan sosial berskala besar masih bagus di atas kertas. Praktiknya, saya tidak memiliki kepercayaan yang sama."
"Saya secara pribadi menyaksikan bagaimana orang-orang masih berkeliling tanpa mengenakan masker, dan karena ini adalah Bulan Suci Ramadhan, orang-orang memadati warung makan (untuk berbuka puasa) di jalan tanpa benar-benar memperhatikan peraturan," tambahnya.
Bahkan beberapa ahli percaya pandemi mungkin akan memburuk karena orang-orang akan keluar rumah saat Idul Fitri.
Menurut pemerintah, setidaknya ada 19,5 juta penduduk yang mudik selama periode tahun lalu.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menegaskan memang sulit menghentikan orang berlalu-lalang saat Idul Fitri.
Sebab trandisi ini sudah sangat mendarah daging bagi umat Muslim di tanah air.
"Kecuali para ulama minggu ini dapat membujuk orang untuk tidak bertemu keluarga dan teman-teman mereka, dan alih-alih menggunakan telepon, media sosial, Zoom atau Skype," jelas Pandu.
Pandu memperkirakan Indonesia mungkin mengalami lonjakan infeksi setelah Idul Fitri, antara akhir Mei hingga awal Juni.
Tim Pandu di UI juga memperkirakan ada lebih dari 140.000 korban jiwa dan 1,5 juta kasus dari seluruh negeri pada Mei ini.
Kecuali bila pemerintah mau mengambil sikap lebih keras pada kebijakan yang sudah ada.
Bagaimanapun juga, Pandu tidak berharap perkiraan ini akan terjadi di tanah air.
Kekacauan dalam penanganan corona di Indonesia menurut kritikus diperburuk dengan pesan yang saling silang antar pemerintah terkait mudik.
Presiden Jokowi pada 21 April lalu melarang mudik.
Setelah itu, pada 24 April kementerian transportasi menghentikan semua penerbangan penumpang antar kota hingga 1 Juni.
Namun, gugus tugas Covid-19 melonggarkan pembatasan perjalanan udara pada 6 Mei untuk kelompok-kelompok tertentu, termasuk pejabat negara, pekerja penting, pasien darurat, orang yang membutuhkan repatriasi, dan anggota keluarga orang yang meninggal.
Alhasil kerumunan tidak terbendung terjadi di Bandara Soekarno-Hatta.
Sejak terjadi insiden itu, muncul tagar #IndonesiaTerserah.
Habib dari CSIS menilai relaksasi yang diberikan pemerintah telah menepis harapan pemerintah daerah untuk mengurangi infeksi lantaran khawatir dengan sistem kesehatan tidak bisa mengatasi gelombang masuknya pemudik.
Dia mengatakan, negara menghadapi dua klaster infeksi yang tampaknya menyebar ke sebagian besar provinsi.
Sebagaimana terjadi di klaster Tabligh Jamaat Ijtima Gowa-Tallo dengan 8.000 lebih perserta dan klaster pondok pesantren Al-Fatah Temboro di Magetan, Jawa Timur.
Pesantren Al Fatah memiliki 24 siswa yang dinyatakan positif virus korona.
Baca: Diantaranya 43 Santri Asal Malaysia, 75 Santri Ponpes Al Fatah Temboro Magetan Positif Covid-19
Adapun 43 siswa Malaysia lainnya juga dinyatakan positif Covid-19 setelah kembali ke negara asal.
Sekolah itu menampung lebih dari 22.000 siswa, 2.000 di antaranya adalah orang asing, sebagian besar dari negara-negara Asia Tenggara.
"Saya pribadi percaya bahwa kedua kluster dapat dicegah jika pemerintah sejak awal melarang orang kembali ke kampung halaman," kata Habib.
Dia menilai dua cluster itu rumit karena penelusuran kontak dilakukan di tingkat lokal, bukan dikoordinasikan oleh pemerintah pusat.
Dia juga menyarankan agar pemerintah memantau kegiatan keagamaan yang masif, pasar trandisional, dan pekerja industri yang masih beroperasi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)