Muncul Gelombang Unjuk Rasa Anti-Rasisme "George Floyd" di Eropa
Unjuk rasa damai menuntut keadilan rasial juga menggema di seluruh Eropa pada Minggu (7/6/2020) waktu setempat.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, MADRID - Gelombang unjuk rasa menyerukan keadilan rasial bukan hanya terjadi di Amerika Serikat (AS), setelah kasus kematian warga kulit hitam AS, Georgen Floyd pada 25 Mei lalu di tangan polisi.
Unjuk rasa damai menuntut keadilan rasial juga menggema di seluruh Eropa pada Minggu (7/6/2020) waktu setempat.
Mereka bergabung dengan gelombang demonstrasi di AS yang dipicu kematian Floyd.
Sebuah video viral mengenai detik-detik kematian Floyd. Dalam video itu, Floyd memohon kepada anggota polisi kulit putih yang berlutut di lehernya, bahwa dia tidak bisa bernafas.
Namun permintaan Floyd tak digubris hingga ia meregang nyawa pada 25 Mei lalu. Kejadian ini memicu merebaknya aksi protes di seluruh dunia, bahkan ketika banyak negara terus mencegah pertemuan besar untuk menekan pandemi virus corona.
Ribuan orang berunjuk rasa di luar Kedutaan besar AS di Madrid.
Ribuan pengunjuk rasa itu berteriak, "Aku tidak bisa bernapas, " mengacu pada kata-kata terakhir Floyd.
"Rasisme tidak mengenal batasan," kata Leinisa Seemdo, (26), penerjemah Spanyol dari Tanjung Verde.
"Di semua negara, tempat saya tinggal, saya telah mengalami diskriminasi karena warna kulit saya," ujarnya seperti dilansir AFP, Senin (8/6/2020) waktu Indonesia.
Ribuan warga kota Roma, Italia berlutut dengan kepalan tangan kanan ke udara, dan mengheningkan cipta selama delapan menit-mengenang waktu kematian Floyd di tangan polisi.
"Kami tidak bisa bernapas," demikian teriakan pengunjuk rasa, setelah mengheningkan cipta bersama.
"Sangat sulit untuk tinggal di sini," kata migran Senegal, Morikeba Samate (32), salah satu dari ribuan pengunjuk rasa yang telah tiba di Italia setelah mempertaruhkan nyawa menyeberangi Mediterania.
Kematian Floyd bulan lalu telah memicu turunnya massa dan dinilai paling serius oleh masyarakat di Amerika Serikat, sejak Martin Luther King dibunuh pada 1968.
Anggota polisi kulit putih yang membunuh Floyd, Derek Chauvin, didakwa dengan pembunuhan tingkat kedua. Sementara tiga rekannya menghadapi dakwaan yang lebih rendah.
'Tidak ada Keadilan, Tidak Ada Perdamaian'
Lebih dari 1.000 orang pada hari Minggu (7/6/2020) juga berunjuk rasa menentang diskriminasi rasial di dekat Kedutaan besar AS di Budapest.
Penyanyi Reggae asal Hungaria, G Ras mengatakan kepada pengunjuk rasa," jika kita ingin hidup di dunia yang lebih baik, maka kita perlu secara radikal mengubah cara kita hidup."
Hampir 4.000 warga menghadiri dua asi unjuk rasa serupa di Belanda.
Ribuan warga berunjuk rasa di seluruh kota di Inggris.
Artis Hip-Hop Stormzy juga bergabung dalam barisan demonstran untuk hari kedua yang terjadi di London, meskipun ada larangan pertemuan dalam jumlah besar di tengah pandemi Covid-19.
Di ibukota Skotlandia, Edinburgh, penyanyi Lewis Capaldi ikut bersama ribuan pengunjuk rasa.
Di Lausanne, Swiss, hampir 10 ribuan demonstran berbalut pakaian serba hitam bertuliskan, "warna saya bukan ancaman."
"Hampir 10.000 orang berunjuk rasa di Brussel," kata polisi.
"Pembunuhan George Floyd jelas telah membangunkan banyak orang," tegas Ange Kaze dari Jaringan Belgia untuk 'Black Lives'.
Bentrokan demonstran dan polisi pecah saat aksi unjuk rasa di Brussels.
Namun aksi demonstrasi oleh 15 ribu orang di Kopenhagen berakhir dengan damai.
Bentrokan juga dilaporkan terjadi di akhir aksi unjuk rasa di Goteborg, Swedia.
Di Perancis, lebih dari 23.000 orang berjunjuk rasa pada Sabtu (6/6/2020).
Banyak pemain tim sepak bola Jerman berlutut selama akhir pekan dalam mengenang Floyd.
Floyd tewas, setelah leher dan punggungnya ditindih lutut beberapa polisi, ketika dia ditangkap atas tuduhan menggunakan uang palsu di sebuah toko.
Floyd meninggal di rumah sakit sesaat setelah insiden fatal pada 25 Mei.
Kematian Floyd itu telah memicu kemarahan ribuan orang di AS dan dunia, sehingga turun ke jalanan untuk menyuarakan keadilan.
Para pengunjuk rasa menuntut kasus ini diperluas untuk juga menjerat semua anggota polisi yang ada di lokasi dan turut mengakibatkan kematian FLoyd.
"Jaksa Agung Minnesota Keith Ellison telah menaikkan dakwaan ke Derek Chauvin menjadi tingkat kedua dalam kasus pembunuhan George Floyd. Jaksa Agung juga mendakwa tiga polisi lainnya. Ini langkah penting bagi peradilan," ujar Senator AS untuk Minnesota, Amy Klobuchar.
Hasil Autopsi Independen: Tiga Polisi Lain Turut Serta Akibatkan Kematian Floyd
Dua dokter melakukan autopsi independen terhadap jenasah George Floyd, yang meninggal dalam tahanan polisi di Minneapolis dua pekan lalu dan memicu gelombang unjuk rasa di Amerika Serikat (AS).
Hasil autopsi menunjukkan bukan hanya polisi yang menindih leher Floyd, Derek Chauvin, menyebabkan kematian.
Namun ada sejumlah personil lainnya di lokasi kejadian yang turut menyebabkan kematian Floyd.
Video yang beredar menunjukkan Floyd memohon dan berulang kali mengatakan, 'ia tidak bisa bernapas' ketika seorang polisi Derek Chauvin terus menempelkan lututnya ke leher Floyd selama hampir sembilan menit.
Dua petugas lainnya juga menekan lutut mereka ke punggung Floyd.
Dr Michael Baden, yang juga mengambil bagian dalam autopsi independen atas permintaan dari keluarga Floyd, mengatakan, tindakan dua anggota polisi itu juga menyebabkan kematian Floyd.
Baden menambahkan ia tidak menemukan masalah kesehatan yang mendasar pada Floyd dan menyebabkan kematiannya.
Baden berpengalaman dalam menangani kasus-kasus besar, termasuk kasus kematian 2014 lalu, Eric Garner, seorang pria kulit hitam yang meninggal setelah dicekik oleh polisi di New York.
"Banyak polisi punya kesan bahwa jika Anda dapat berbicara, itu berarti Anda sedang bernapas. Itu tidak benar, "kata Baden.
"Saya berbicara sekarang di depan Anda dan tidak bernapas," ucapnya sambil menirukannya.
Antonio Romanucci, salah satu pengacara yang mewakili keluarga Floyd, mendesak empat polisi yang berada di tempat kejadian harus juga didakwa dalam kasus yang sama. Jadi bukan hanya Chauvin.
"Tidak hanya lutut di leher George penyebab kematiannya, tapi begitu juga dua polisi lain yang melakukan hal yang sama di punggungnya, yang tidak hanya mencegah aliran darah ke dalam otaknya, tetapi aliran udara ke dalam paru-parunya," kata Romanucci.
"Karena itu semua petugas di TKP harus bertanggung jawab," tegasnya.
Hasil autopsi menyimpulkan, Floyd meninggal karena sesak napas lantaran leher dan punggungnya ditekan, sehingga tidak ada aliran darah ke otak. Sehingga tewasnya Floyd merupakan pembunuhan.
Hasil autopsi menunjukkan pria 46 tahun itu meninggal di tempat kejadian perkara (TKP).
Para dokter juga mengatakan Floyd tidak memiliki kondisi medis yang mendasar dan berkontribusi pada kematiannya.
Hal ini sungguh bertentangan dengan temuan awal autopsi resmi oleh Hennepin County Medical Examiner, yang dikutip dalam dokumen pengadilan, bahwa tidak ada bukti pencekikan traumatis.
Sebagaimana diketahui dari dokumen tuntutan, seorang anggota polisi kulit putih dihadapkan ke pengadilan karena melakukan aksi pembunuhan terhadap Floyd.
Polisi yang menindih leher Floyd, Derek Chauvin, kini sudah dipecat dan dituntut atas pembunuhan tingkat tiga dan pembantaian.
Hasil ini juga mengatakan penyakit arteri koroner dan hipertensi juga mungkin berkontribusi terhadap kematian Floyd.
Laporan autopsi lengkap dari daerah setempat belum dirilis.
"Bukti ini konsisten dengan asfiksia mekanik sebagai penyebab kematian dan pembunuhan sebagai cara kematian," kata Dr Allecia Wilson dari University of Michigan, salah satu dari dua dokter forensik yang melakukan autopsi independen.
Ben Crump, pengacara kepala dari keluarga Floyd, mengatakan autopsi independen dan bukti video memembuktikan, Floyd sudah tewas ketika ia masih berbaring di jalan dengan polisi di atasnya.
Keluarga Floyd juga meminta agar aksi protes kekerasan yang terjadi di Amerika Serikat untuk segera diakhiri.
"George meninggal karena ia membutuhkan napas, menghirup udara," kata Crump.
"Saya memohon Anda semua untuk bergabung dengan keluarganya dalam mengambil napas-mengambil napas untuk keadilan, mengambil napas untuk perdamaian. " (AFP/Channel News Asia/Reuters/CNN)