Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Demo Kasus Floyd di AS Menjalar ke Eropa, Massa Robohkan Patung Pedagang Budak

Aksi itu dilakukan di tengah desakan publik yang meminta monumen pedagang budak lainnya di Inggris dirobohkan.

Penulis: Febby Mahendra
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Demo Kasus Floyd di AS Menjalar ke Eropa, Massa Robohkan Patung Pedagang Budak
Twitter @SamuelLiddell
Patung Edward Colston si 'Pedagang Budak' di Inggris 

 TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Massa yang memprotes rasisme di Inggris merobohkan dan menjeburkan ke sungai patung seorang pedagang budak pada abad ke-17, Edward Colston, di Kota Bristol, Minggu (7/5/2020) waktu setempat.

Aksi itu dilakukan di tengah desakan publik yang meminta monumen pedagang budak lainnya di Inggris dirobohkan.

Robohnya patung Colston memicu perdebatan antara warga Inggris.

Baca: Apakah Kerusuhan di AS Menguntungkan Perekonomian Indonesia? Ini Kata Ekonom Bhima Yudhistira

Banyak yang mempertanyakan apakah aksi menjatuhkan patung itu merupakan perbuatan merusak atau momen bersejarah yang dapat menarik perhatian masyarakat terhadap peran Inggris pada era jual beli budak.

Anggota Partai Buruh, Andrew Adonis mengatakan Inggris terlalu lambat merobohkan patung para pedagang budak dan penjahat imperialis lainnya.

Baca: Tokoh Partai Republik Sekaligus Pensiunan Jenderal Ini Sebut Trump Pembohong dan Bahaya bagi Amerika

Sedang Menteri Keuangan Sajid Javid dari Partai Konservatif mengatakan aksi massa itu merupakan perbuatan melawan hukum.

"Saya tumbuh besar di Bristol. Saya benci mengetahui Edward Colston mencari untung dari jual beli budak. Namun, (aksi itu) tidak benar,”  Javid lewat pernyataan tertulisnya.

BERITA REKOMENDASI

"Jika warga Bristol ingin merobohkan sebuah momumen, caranya harus demokratis, bukan dengan aksi merusak yang melawan hukum," tambahnya.

Rekaman video yang tersebar di media sosial menunjukkan massa aksi  Black Lives Matter bersorak saat mereka merobohkan patung Colston dan mendorongnya ke sungai saat berunjuk rasa pada akhir pekan.

Warga Inggris di beberapa kota, seperti London, Manchester, Glasgow, dan Edinburgh, turun ke jalan pada Minggu memprotes rasisme dan aksi brutal kepolisian, sebagai imbas gerakn serupa di Amerika Serikat.

Colston, lahir di Bristol pada 1636, merupakan seorang pedagang dan anggota parlemen, yang kekayaannya diperoleh dari penjualan sekitar 80 ribu laki-laki, perempuan, dan anak-anak dari Afrika dan wilayah Karibia, ke Amerika. Banyak dari mereka mati dalam perjalanan.

Ganti nama jalan


Patung Colston, terbuat dari tembaga, didirikan pada 1895. Monumen itu jadi pusat protes masyarakat pada masa lalu dan ada petisi yang mendesak patung itu segera dirobohkan.

Petisi tersebut sejauh ini tela ditandatangani lebih dari 11 ribu orang.

"Sebagai warga Bristol, nama Edward Colston dapat ditemukan di banyak tempat. Kota ini melukis wajahnya di tiap tembok bangunan. Ini waktunya untuk berubah," kata seorang aktor asal Inggris, Miltos Yerolemou, lewat unggahannya di Twitter.

Yerolemou merupakan seorang pemain serial televisi "Game of Thrones".

"Hari ini adalah hari yang baik. Ini adalah langkah pertama dari banyak yang harus diubah," ujar dia.

Massa di beberapa negara kota Eropa pada Minggu berunjuk rasa sebagai wujud solidaritas kepada warga AS yang memprotes aksi brutal kepolisian.

Unjuk rasa di Eropa berlangsung di Roma, Copenhagen, Budapest, Madrid, serta beberapa kota di Inggris.

Dalam aksi massa di Inggris, sebuah poster berisi tulisan. "Inggris juga bersalah.”

Unjuk rasa di Inggris menghidupkan kembali perdebatan mengenai peran Inggris dalam jual beli budak.

Otoritas di sejumlah kota telah berencana merobohkan sejumlah monumen penjual budak dan mengedukasi masyarakat mengenai sejarah Inggris.

Kota Glasgow di Skotlandia berencana mengubah nama beberapa jalan yang menggunakan nama para pedagang budak, termasuk di antaranya Buchanan Street, Ingram Street, dan Virginia Street.

Aktor Star Wars, John Boyega, telah kembali ke media sosial untuk pertama kalinya sejak pidato Black Lives Matter yang ia serukan di London pada Rabu (3/6) lalu.  Iamendapatkan banyak dukungan dan kembali menyuarakan protes melalui media sosialnya.

“Saya ingin berterima kasih kepada kalian semua atas cinta dan dukungan yang telah Anda bagikan selama beberapa hari terakhir, meskipun tidak ada yang saya lakukan untuk pujian, atau bahkan cukup, dalam skema besar hal-hal ini,” tulis Boyega di Instagram.

Boyega menganggap perjuangan bagi komunitas kulit hitam melawan rasisme dan kesenjangan masih perlu banyak dorongan. 

“Saya akan terus menggunakan platform saya untuk melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan di komunitas kami, apapun yang terjadi," kata Boyega.

Sejak pidato tersebut, sejumlah sutradara Hollywood telah menyatakan keinginan mereka untuk memerankan Boyega di masa depan. Sutradara Star Wars  JJ Abrams mengatakan dia akan "memohon" Boyega untuk bekerja dengannya lagi di masa depan.

Kebrutalan polisi di Kenya

Tidak hanya di Amerika Serikat, kebrutalan polisi juga sudah menjadi persoalan lama di Kenya.

Bahkan pada Senin (8/6/2020) lalu, terjadi demonstrasi di Ibu Kota Kenya, Nairobi untuk menuntut keadilan bagi para korban pembunuhan polisi di luar proses hukum.

Demo ini terjadi beberapa hari setelah pengawas polisi mengatakan ada 15 warga sipil yang meninggal karena kebrutalan polisi.

Belasan insiden itu terjadi sejak pemerintah memberlakukan jam malam untuk mengendalikan Covid-19 pada Maret silam, dikutip dari Al Jazeera

Setidaknya 200 demonstran memadati Mathare, area pemukiman padat penduduk di Nairobi.

Kerumunan ini didominasi pemuda dan ibu-ibu yang membawa poster berisi nama-nama teman mereka, tetangga, maupun anak mereka yang terbunuh dalam operasi polisi beberapa tahun terakhir.

Baca: Kisah Inspiratif Bocah 9 Tahun Asal Kenya Ciptakan Mesin Cuci Tangan Untuk Cegah Penularan Covid-19

Baca: Apakah Kerusuhan di AS Menguntungkan Perekonomian Indonesia? Ini Kata Ekonom Bhima Yudhistira

Janda buruh cuci di Kenya, Peninah Bahati Kitsao, masak batu agar dikira anak-anaknya sedang siapkan makanan.
Janda buruh cuci di Kenya, Peninah Bahati Kitsao, masak batu agar dikira anak-anaknya sedang siapkan makanan. (CAROLINE MWAWASI/TUKO)

Beberapa diantaranya juga membawa kalimat-kalimat berisi pesan agar kebutalan polisi segera diakhiri.

"Hidup kami tidak ternilai."

"Selamatkan masa depan kita."

Begitupun yang diinginkan seorang warga Mathare, Rahma Wako.

"Saya di sini untuk memprotes pemuda kami yang telah meninggal di tangan polisi tanpa kesalahan dan kami mengatakan cukup sudah." ​​

"Sebagai ibu, banyak pemuda kami telah terbunuh ketika dicap sebagai pencuri," katanya dikutip dari AFP.

Otoritas Pengawasan Independen Pemolisian Kenya (IPOA) pekan lalu melaporkan telah menerima 87 pengaduan terhadap polisi.

Aduan meningkat sejak jam malam untuk mengendalikan wabah Corona dimulai pada 27 Maret.

Setidaknya ada 15 korban meninggal dan 31 luka-luka akibat kekerasan polisi saat menjalankan patroli jam malam.

Polemik ini tentu sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.

Bahkan sudah sepekan lebih masyarakat berdemo dan protes terhadap kematian George Floyd.

Publik menilai George Floyd meninggal karena rasisme yang dilakukan polisi terhadapnya.

Aktivis Kenya mengungkapkan bahwa kebrutalan polisi di negaranya selama ini kerap kali lepas dari hukum.

"Akhirnya suara kami didengar, kami berada di daerah kumuh tetapi seluruh dunia akan mendengar tangisan kami seperti mereka mendengar George Floyd," kata pengunjuk rasa Cynthia Ochieng kepada Anadolu Agency.

Kelompok HAM menilai Kepolisian Kenya menggunakan kekuatan berlebihan dan melakukan pembunuhan di luar hukum kepada warga sipil, terutama di lingkungan miskin.

Pada April lalu, Human Right Watch (HRW) menuduh polisi memberlakukan jam malam dengan cara yang keras dan tidak beraturan sejak awal.

Tidak jarang polisi mencambuk, menendang, dan meracuni warga dengan gas demi memaksa mereka tidak berkeliaran di jalan.

(cnn/rtr/feb)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas