Israel vs Iran, Ulasan di Balik Huru-hara Suriah dan Agresifitas Turki
Israel konsisten tidak akan mengizinkan militer Iran didirikan di sepanjang perbatasan utara negara mereka.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Ketika Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan muncul salat Jumat di Masjid Hagia Sophia, Istanbul, Jumat (24/7/2020) siang, ia dielu-elukan pendukungnya.
Tak hanya di Turki, fans Erdogan yang jauh dari Istanbul pun berhikmat, menjulangkan puja-puji untuk pemimpin Turki dari partai AKP itu.
Erdogan disebut mengembalikan simbol keunggulan kekhalifahan Usmaniyah, yang mendunia sejak penaklukan dramatis Konstantinopel pada 1453 Masehi.
Di Tel Aviv, Perdana Israel Menteri Benyamin Netanyahu, Minggu (26/7/2020) pagi, menegaskan, negaranya akan konsisten melawan langkah politik dan militer Iran.
Pernyataan Netanyahu ini sejalan dengan usaha Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang meningkatkan langkah-langkah keamanan di perbatasan Lebanon dan Suriah.
Israel menurut Netanyahu, konsisten tidak akan mengizinkan militer Iran didirikan di sepanjang perbatasan utara negara mereka.
“IDF siap menanggapi ancaman apa pun,” tegas Netanyahu dikutip Sputniknews.com. Pernyataan ini sebenarnya menggambarkan apa yang selama ini dilakukan Israel di Suriah.
Mereka secara sistematis meluncurkan peluru kendali jarak jauh, menerbangkan jet maupun heli tempur, menggempur objek-objek di Suriah yang disebut ada kaitaan dengan Iran.
Dua hari lalu, Israel menerbangkan helikopter tempur, menyerang sasaran-sasaran pasukan Suriah di Quneitra, kota di perbatasan Suriah-Israel di Dataran Tinggi Golan.
Selama sepekan terakhir, dimulai 20 Juli, Israel melakukan gelombang baru serangan udara ke pedesaan selatan ibukota Suriah, Damaskus.
Menurut kantor berita Suriah, SANA, pesawat tempur Israel meluncurkan rudal dari wilayah udara di atas Dataran Tinggi Golan pukul 21,48 waktu setempat.
Sebagian besar rudal ditembak jatuh Pasukan Pertahanan Udara Suriah. Beberapa mencapai target. Setidaknya 7 personil Suriah dilaporkan terluka dalam serangan itu.
Sehari sebelumnya, pada 19 Juli, pesawat tempur Israel dan pesawat pengintai melakukan penerbangan besar-besaran di wilayah udara Lebanon, dekat perbatasan Suriah.
Dikutip dari Southfront.org, penerbangan besar-besaran itu diduga dilakukan dalam rangka persiapan serangan 20 Juli.
Peningkatan operasi Israel ke Suriah ini ada kaitan menyusul keputusan kepemimpinan Iran yang secara terbuka menyatakan akan berkontribusi meningkatkan kemampuan pertahanan udara Suriah.
Israel melihat pernyataan ini sebagai sinyal kemungkinan pasokan sistem pertahanan udara Iran ke Suriah.
Sumber-sumber Suriah berspekulasi Israel juga meningkatkan aktivitas sabotase di Suriah selatan.
Pada tahun-tahun sebelumnya konflik, kepemimpinan Israel telah menunjukkan mereka siap mendukung kelompok teroris yang menentang Damaskus.
Pendekatan ini diperluas ke situasi ketika militer Israel melakukan menutup mata terhadap kehadiran teroris ISIS di dekat posisi Israel di Dataran Tinggi Golan.
Pada saat yang sama, Israel bereaksi negatif terhadap upaya anti-terorisme Suriah di provinsi Daraa dan Quneitra.
Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian pembunuhan dan serangan menargetkan pasukan pemerintah Suriah di daerah ini.
Sumber-sumber pro-pemerintah mengklaim, serangan menjadi mungkin berkat dukungan Israel kepada kelompok-kelompok anti-pemerintah yang tersisa di region ini.
21 Juli, kelompok militan Idlib membombardir posisi pentara Suriah di dekat desa Dadikh. Sumber-sumber pro-militan mengklaim serangan diklaim balasan pelanggaran gencatan senjata oleh pasukan Damaskus.
Patroli bersama Rusia-Turki yang dilakukan reguler di sepanjang jalan raya M4 di Idlib selatan, tidak cukup kekuatan menstabilkan daerah tersebut.
Patroli ini bahkan menjadi sasaran serangan dan provokasi secara teratur oleh kelompok-kelompok militan, termasuk kelompok proksi Turki di Suriah.
Jika situasinya tidak berubah, konfrontasi militer terbuka baru di bagian selatan Suriah ini menjadi tak terhindarkan.
Pada saat yang sama, solusi politik untuk peredaan ketegangan tidak dimungkinkan, selama wilayah tersebut dikendalikan faksi Al-Qaeda, terutama kelompok Hayat Tahrir al-Sham.
Di Suriah timur, Pasukan Demokrat Suriah yang dilindungi AS melanjutkan serangan anti-ISIS mereka di berbagai desa gurun.
Sumber-sumber Pro-Kurdi mengklaim serangan ini bisa mengurangi aktivitas ISIS terutama di tepi timur Sungai Eufrat.
Kelompok yang diyakini sudah babak belur ini masih memiliki jaringan sel yang luas di bagian wilayah Suriah ini. Jadi kembalinya ISIS hanya masalah waktu.
Suriah, selain Yaman dan Libya, saat ini menjadi negara paling menderita. Ia jadi medan tempur proksi banyak negara berkepentingan.
Erdogan secara vulgar, menduduki sebagian Provinsi Idlib. Ia mengirimkan ribuan tentara, kendaraan tempur, dan mengerahkan pesawat tempur nirawak.
Pendudukan Turki di Idlib ini sudah tak terhitung diprotes Presiden Bashar Assad. Damaskus mengecam pelanggaran kedaulatan oleh Turki yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun itu.
Alasan Turki masuk Idlib adalah melindungi warga Suriah dari represi militer. Tapi jika menilik kisah di baliknya, invasi Turki ke Idlib itu lebih karena melindungi proksi-proksinya yang berkumpul di kota itu.
Di awal konflik Suriah, atau 9 tahun lalu, Turki merupakan agitator utama yang mendorong pendongkelan Bashar Assad. Sejumlah negara Arab mendukung usaha ini.
Tapi gerakan mendongkel Assad gagal total. Situasi berbalik ketika Rusia dan Iran datang membantu Suriah.
Setelah banyak wilayah yang tadinya dikuasai gerombolan bersenjata proksi asing, sisa kelompok itu berkumpul di Idlib, disusul kedatangan militer Turki ke provinsi itu.
Idlib merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan wilayah Turki. Gaziantep, kota Turki yang jadi pintu perlintasan masuk ke wilayah Idlib.
Kedatangan pasukan Turki tidak bersifat pasif. Mereka beberapa kali menyerang pos-pos dan kedudukan pasukan Suriah yang mengepung di pinggiran selatan Idlib.
Dilihat dari konstelasi politik kawasan, campur tangan Turki yang melemahkan Suriah ini sangat menguntungkan Israel.
Ini sisi keunikan lain Turki dan Erdogan di kancah perang Timur Tengah, selain mereka masih melayani kehadiran Kedubes Israel di negara itu.
Israel, dalam sebulan terakhir, berada di level tinggi ketegangan melawan Iran. Laporan yang dikutip New York Times (NYT), menyebut Tel Aviv ada di balik sabotase bom di Iran.
Ledakan besar terjadi bulan lalu di Natanz, Iran, yang menghancurkan sebuah pabrik yang memproduksi sentrifugal. Alat ini digunakan dalam industri penyempurnaan nuklir Iran.
Secara resmi, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz menangkis keterlibatan Israel pada aksi sabotase di dalam negara Iran itu.
"Semua orang bisa curiga terhadap kita sepanjang waktu. Tetapi tidak setiap peristiwa yang terjadi di Iran terhubung dengan kita," kata Gantz, Senin pekan lalu dikutip Al Masdar News.
Agresifitas Israel ke Suriah ini sebanding dengan agresifitas Turki di Idlib. Keduanya secara nyata melakukan pelanggaran hukum internasional.
Kedua negara ini secara faktual melanggar batas teritori negara tetangganya yang sah dan berdaulat secara hukum.
Rusia, walau jadi sekutu utama Suriah, tidak berusaha keras mendesak Erdogan menarik pasukannya dari Idlib.
Presiden Vladimir Putin, mewakili kepentingan Suriah dan Bashar Assad, dan Tayyip Erdogan, menjalin kesepakatan gencata senjata 5 Maret 2019 di Moskow.
Intinya, pasukan Suriah menunda serangan pamungkas merebut Idlib yang berisiko menimbulkan korban jiwa dalam jumlah banyak.
Rusia juga mengatur kontrol sebagian wilayah di Idlib bersama Turki. Terutama mengamankan jalan raya M4, yang menghubungkan Latakia dan Aleppo.
Area seluas 6 kilometer sepanjang di kiri kanan jalan raya M4 itu harus dibebaskan dari kelompok bersenjata.
Pasukan Rusia dan Turki selanjutnya menggelar patroli bersama guna menjamin jalannya kesepakatan gencata senjata itu.
Campur tangan militer Turki di Suriah bukan tidak merenggut korban. Hampir 100 tentara Turki telah tewas di medan tempur Idlib dan sekitarnya.
Turki dalam kasus Idlib, sangat berkepentingan agar kelompok bersenjata yang bertahan di kota itu tidak merembes ke negaranya, jika pasukan Suriah dan Rusia merebut Idlib sepenuhnya.
Karena itu, bercokolnya pasukan Turki di Idlib merupakan taktik Erdogan untuk memaksa Damaskus menyediakan solusi politik khusus bagi Idlib.
Pada 22 Juli 2020, di depan parlemen, Tayyip Erdogan mengutarakan sikapnya terkait kebijakan politiknya di Suriah.
"Sampai orang-orang Suriah menikmati kebebasan, perdamaian dan keamanan, kami akan tetap berada di negara ini," kata Erdogan dikutip kantor berita Anadolu.
Pernyataan ini menunjukkan, Turki tidak ada bedanya dengan AS dan sekutunya, yang melanggar hukum, menduduki negara lain tanpa legalitas.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga/Sputniknews.com/AlMasdarNews/Southfront.org)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.