Mantan Kepala Mossad Israel Cemaskan Kian Mesranya Hubungan China-Iran
Beijing akan menggelontorkan dana segar sekitar $ 400 miliar ke Iran. Mereka juga akan memperluas kehadirannya di bidang perbankan dan telekomunikasi.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV – Mantan Kepala Mossad, Danny Yatom, mengungkapkan kekhawatirannya atas kian mesranya hubungan China-Iran.
Perjanjian ekonomi dan militer Teheran dan Beijing pekan lalu menimbulkan kecemasan di Israel, karena uang yang akan mengalir ke Iran akan menstabilkan ekonomi negeri itu.
Pada akhirnya, menurut Danny Yatom, bakal meningkatkan kapasitas Republik Islam Iran menantang keamanan kaum Yahudi Israel.
Pendapat dan analisis Danny Yatom itu dikutip media Rusia, Sputniknews.com, Rabu (29/7/2020). Pemerintah Iran telah berulang membuat retorika, tekanan asing takkan membuat Iran bertekuk lutur.
“Sanksi ekonomi AS, sekeras apapun, tidak akan bisa membuat Iran bertekuk lutut,” kata Presiden Iran, Hassan Rouhani, Sabtu pekan lalu.
Ia menambahkan, solidaritas rakyatnya akan membantu bangsa Iran mengatasi langkah-langkah keras yang diberlakukan Gedung Putih.
Baca: Israel vs Iran, Ulasan di Balik Huru-hara Suriah dan Agresifitas Turki
Kesepakatan baru China-Iran berpotensi segera mangalirkan miliaran dolar dana ke ekonomi Iran. Langkah ini akan memulihkan Iran yang didera virus corona, dan berdampak sangat dalam.
Berdasar kesepakatan bisnis itu, Iran dalam jangka panjang akan mengekspor minyak ke China. Sekurangnya untuk jangka waktu 25 tahun ke depan menggunakan harga diskon.
Sebaliknya, Beijing akan menggelontorkan dana segar sekitar $ 400 miliar ke Iran. Mereka juga akan memperluas kehadirannya di bidang perbankan, telekomunikasi, konstruksi, pelabuhan, dan kereta api.
Perjanjian bilateral setebal 18 halaman itu juga menetapkan kerja sama militer yang luas yang mencakup latihan bersama, pengembangan senjata, dan berbagi intelijen.
Semuanya dikemas atas nama "perang melawan terorisme, narkoba, perdagangan manusia, dan kejahatan lintas batas".
Menurut Danny Yatom, mantan kepala agen mata-mata Israel itu, kesepakatan dengan Iran itu bagian kebijakan umum Beijing untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
"Seperti halnya di Afrika, China menerima akses ke proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar, Beijing menggunakan trik yang sama di Timur Tengah, mencapai kesepakatan dengan Teheran,” kata Yatom.
“ Tujuan mereka di sini sederhana: yang mereka inginkan hanyalah mendapatkan akses ke Mediterania dari mana mereka akan bisa lebih dekat ke Uni Eropa, mitra dagang terbesar China,” lanjutnya.
Israel Mengatasi Kecurigaan
Sementara kesepakatan bisnis China-Eropa belum menimbulkan kekhawatiran bagi Israel, tapi menurut Yatom, itu mungkin menimbulkan “sakit kepala” yang serius bagi negaranya.
"Begitu China mulai mengucurkan uangnya, itu pasti akan memudahkan situasi ekonomi Iran; dan sekali ini dilakukan, Teheran akan dapat mengalokasikan uang untuk organisasi yang dapat menantang negara Yahudi, seperti Hezbollah, Hamas, dan Jihad Islam Palestina,” kata Yatom.
Meskipun Teheran diduga berhenti mendukung Hamas pada 2011 menyusul keputusan kelompok Islam untuk mendukung pemberontak Suriah yang berperang melawan Presiden Suriah Bashar Assad, suntikan uang tunai kepada Jihad Islam dan Hizbullah tidak pernah berhenti.
Walaupun sulit untuk menilai berapa banyak uang (jika ada) yang dimasukkan oleh Teheran, media Israel menunjukkan Jihad Islam Palestina menerima sekitar $ 70 juta per tahun, dan Hezbollah Lebanon mendapat sekitar $ 800 juta per tahun.
Suntikan uang tunai bukan satu-satunya cara yang digunakan Iran. Selama bertahun-tahun, Iran diduga memberi Hezbollah sejumlah senjata dan membantu mengubahnya menjadi salah satu kekuatan militer terkuat di kawasan itu.
Mereka menguasai berbagai macam anti-tank, anti rudal anti-udara, kemampuan yang menurut negara Yahudi tidak bisa diterima.
Karena alasan inilah dalam beberapa tahun terakhir, Israel telah meningkatkan upayanya untuk mencegah kehadiran Iran di sebelah perbatasannya di utara.
Militer Israel secara konsisten menyerang berbagai sasaran milik Republik Islam dan proksi Hizbullah di tanah Suriah. Israel percaya, lewat jalur inilah senjata Iran bisa mencapai Lebanon.
Pekan lalu, militer Israel menggempur sebuah sasaran di dekat Damaskus, menewaskan beberapa gerilyawan bersenjata, termasuk seorang pejuang Hizbullah Lebanon.
Ini juga terjadi pada bulan Juni, ketika negara Yahudi itu dilaporkan menghancurkan dua pabrik yang digunakan oleh milisi dukungan Iran untuk menampung amunisi.
"Iran adalah musuh utama kami, dan kami mengikuti apa yang mereka dan sekutu mereka lakukan. Kami tidak akan membiarkan Republik Islam mendekati perbatasan kami,” tegas Yatom.
Yatom mendesak pemerintahnya menekan Tiongkok untuk memastikan perjanjiannya dengan Teheran tidak akan membahayakan keamanan Israel.
"Saya menyadari pakta Beijing dan Teheran adalah kesepakatan yang dilakukan yang tidak dapat diubah,” akunya.
Tetapi Israel, yang menawarkan hubungan persahabatan dengan Beijing dapat mendekati pihak berwenang Tiongkok dan meminta mereka untuk memastikan kepentingan kami dipertahankan.
Menelisik posisi dan hubungan Israel dan Iran, koresponden senior Sputniknews.com, Elizabeth Blade, mengulas, kedua negara mencapai titi terendah hubungan sesudah Shah Iran jatuh.
Buruknya hubungan kedua negara tidak hanya karena faktor isu agama dan perbedaan dalam ideologi, tetapi juga karena alasan geopolitik.
Meskipun tidak mungkin berubah dalam waktu dekat, perubahan masih mungkin terjadi. Syaratnya, Israel meninggalkan cara-cara kekerasan dan aniaya terhadap Palestina.
Pemimpin spiritual Iran secara terbuka dan berulang-ulang membuat retorika, Israel akan dilenyapkan dari peta.
Atas dasar narasi itulah, Israel merespon lewat segala cara yang bisa mencegah aksi itu terjadi. Israel menyabot program nuklir Teheran.
Mereka menginfiltrasi politik dan militer Iran, membunuh sejumlah ahli nuklir Iran, dan menyerang sasaran-sasaran Iran di Irak maupun Suriah.
Israel percaya Iran menyembunyikan tujuan sebenarnya dari proyek nuklirnya. Mereka mencurigai negara itu mengembangkan senjata pemusnah massal untuk digunakan melawan negara Yahudi itu.
Meskipun Iran membantah tuduhan ini, dengan mengatakan program nuklir mereka dimaksudkan untuk tujuan damai saja, Israel tampaknya tidak menerima klaim-klaim ini.
Cara-cara halus dilakukan. Antara lain perang saiber lewat program Stuxnet, sebuah worm komputer yang diduga dikembangkan Israel dan AS, yang menghancurkan sistem komputer program nuklir Iran.
Sejarah sebenarnya mengingat secara jelas hubungan kedua negara ini pernah sangat mesra. Sebelum Revolusi Islam 1979, Iran mempertahankan hubungan yang stabil dengan Israel.
Meskipun keduanya tidak pernah bertukar duta besar, negara-negara itu bekerja sama dalam sejumlah proyek intelijen dan militer. Israel dilaporkan melatih dinas rahasia Shah Iran, Savak.
Hubungan dagang kedua negaraj juga mengesankan. Iran memasok minyak ke Israel, yang memicu ketidakpuasan dunia Arab.
Saat itu, dalam masyarakat Iran yang sebagian besar sekuler, Israel tidak dianggap sebagai musuh negara.
Baca: Benjamin Netanyahu Tegaskan Israel Siapkan Balasan untuk Hizbullah Lebanon
Pembebasan Yerusalem bukanlah agenda pemerintah Iran. Para ahli Israel percaya, Iran lebih memilih kota suci Najaf, ketimbang Yerusalem.
Agama dan Ideologi: Akar Semua Kejahatan?
Masih menurut Elizabeth Blade, suara-suara yang mengatakan pentingnya Yerusalem, juga muncul di Iran.
Hamed Mousavi, seorang profesor ilmu politik dari Universitas Teheran, yang berspesialisasi dalam sifat kompleks hubungan Israel-Iran, mengatakan Yerusalem selalu penting bagi umat Islam Syiah.
Sementara nasib orang-orang Palestina dan "pendudukan Israel atas tanah mereka" adalah wacana umum. Bahkan juga ada pada zaman Shah Iran, teman baik negara Yahudi.
"Bahkan sebelum revolusi, banyak orang tidak puas dengan kebijakan yang dibuat oleh Shah berkaitan dengan Israel, karena mereka tidak mau menerima perlakuan yang diterima rakyat Palestina," jelas Hamed.
Bagi banyak orang, kontrol Yahudi atas kota suci ketiga Islam itu tidak dapat diterima, dan perebutan tanah Palestina dianggap ilegal dan tidak bermoral.
Perasaan umum itu semakin meneggelora setelah revolusi yang menggulingkan Shah Iran.
Namun, Palestina dan faktor agama bukan satu-satunya alasan ketidakpuasan Iran atas Israel. Mousavi menjelaskan sikap ini dengan merujuk celah lebar antara dua ideologi yang saling bertentangan.
"Israel dengan ideologi imperialisnya telah dipandang sebagai elemen utama kehadiran Amerika di wilayah itu. Itu adalah perwujudan kolonialisme,” katanya.
Situasi itu tak bisa dielakkan meningkatkan semangat pemerintahan Iran yang baru guna mendukung perjuangan Muslim yang tertindas melawan penindas barat.
Karena alasan inilah, tak lama setelah revolusi, Iran memutuskan hubungan dengan negara Yahudi itu.
Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat, bergegas mengunjungi negara itu tak lama setelah penggulingan Shah.
Mousavi mengatakan satu-satunya cara bagi Tel Aviv untuk meningkatkan hubungannya dengan Teheran adalah melalui "memperbaiki kondisi Palestina", sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
"Solusi dua negara (Palestina dan Israel) telah terhenti, dan rencana perdamaian Trump yang baru-baru ini diperkenalkan tidak menawarkan solusi politik yang nyata kepada mereka,” tulis Blade di penutup ulasannya.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)