Analis: Banyak Pemimpin Gunakan Covid sebagai Kedok Demokrasi, Trump Mungkin yang Pertama Mengakui
CNN mengklaim, para pemimpin di seluruh dunia tampaknya mengeksplotasi pandemi untuk keuntungan politik dan menggunakannya sebagai kedok demokrasi.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Sudah lebih dari tujuh bulan sejak Covid-19 menyebar ke seluruh dunia.
Virus yang awalnya ditemukan di Wuhan, Hubei, China itu kini telah merebak hingga lebih dari 200 negara di dunia.
CNN mengklaim, para pemimpin di seluruh dunia tampaknya mengeksplotasi pandemi untuk keuntungan politik dan menggunakannya sebagai kedok demokrasi.
Tak banyak yang mengungkapkan hal tersebut secara terbuka.
Tetapi, CNN membuat pengecualian untuk Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Baca: Reaksi Trump Setelah Tahu Biden Pilih Senator Kulit Hitam Jadi Pendamping di Pemilu AS 2020
Baca: Bila Jadi Presiden AS, Joe Biden Janji Bawa Amerika Keluar dari Era Kegelapan Trump
Trump disebut secara terbuka mengakui dia mencoba memblokir dana yang sangat dibutuhkan untuk Layanan Pos AS.
Sebab, Trump ingin membatasi jumlah orang Amerika yang dapat memberikan suara dengan aman pada November 2020 mendatang,
Alasannya?
Dilaporkan CNN, menurut Trump, pemungutan suara melalui pos akan merugikan kampanye dalam pemilihan keduanya.
Dia berulang kali membuat klaim tak berdasar bahwa pemungutan melalui surat suara akan menghasilkan "pemilu paling curang dalam sejarah".
Baca: Billie Eilish Sampaikan Pidato Anti-Trump, Dukung Joe Biden dan Ajak Warga Amerika untuk Mencoblos
Baca: Eks Dirut CIA, FBI, NSA dari Partai Republik Beramai-ramai Kampanyekan Tolak Trump Pilih Joe Biden
Pendapat Para Ahli
Sementara itu, para ahli memberikan komentarnya ketika tahu Trump menolak mengambil langkah-langkah untuk memungkinkan partisipasi warga Amerika dalam pemilihan dan secara terbuka meragukan keabsahan jajak pendapat.
Mereka menyebut Trump merangkul taktik yang digunakan para pemimpin otoriter di negara-negara dengan institusi demokrasi.
"Di satu sisi, dia mengklaim pemungutan suara melalui pos dapat mendelegitimasi pemilihan, sementara secara terbuka dia mengakui telah menentang pendanaan kantor pos untuk menekan pemungutan suara," ungkap Nic Cheeseman, Profesor Demokrasi di Universitan Birmingham.
Baca: Demokrat Resmi Tetapkan Joe Biden Jadi Calon Presiden Amerika Serikat untuk Tumbangkan Donald Trump
Baca: Satpam yang Sempat Viral saat Bertemu Joe Biden di Lift Berikan Pidato Pertama di Konvensi Demokrat
"Ini langkah dari buku pedoman populis: menyalahkan orang lain atas hal yang Anda sendiri lakukan,” tambahnya.
Kebijakan Trump ini diumumkan pada saat beberapa negara berusaha memperbanyak ketersediaan surat suara melalui pos surat dan inisiatif pemungutan suara awal lainnya dalam upaya untuk memungkinkan orang ikut serta dalam pemilihan, tanpa mempertaruhkan kesehatan mereka di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pemilu di Negara dengan Kasus Covid
Lebih jauh Reuters melaporkan, selama wabah pandemi ini berlangsung, Korea Selatan mengizinkan pasien virus corona untuk memberikan suara melalui surat pada April 2020.
CNN menyebut, lebih dari seperempat dari 44 juta pemilih di negara itu memberikan suara mereka sebelum hari pemilihan.
Dan pada Juni, Polandia mengadakan pemilu pertamanya di mana pemungutan suara melalui pos skala luas diizinkan.
Baca: Presiden AS Klaim Cawapres Demokrat Tak Penuhi Syarat, Kamala Harris Sebut Trump Pakai Taktik Kotor
Baca: Mengenal Doug Emhoff, Pengacara dari Kalifornia, Suami Kamala Harris Cawapres AS 2020
Seperti yang ditunjukkan Cheeseman, dalam kasus pemilu AS, Trump "memilih layanan pos sebagai musuh sambil memasang sekutu untuk menjalankannya, yang berarti Trump sendiri adalah orang yang berada di posisi terbaik untuk memanipulasinya."
Tentu saja, voting melalui pos secara inheren lebih rentan daripada voting secara langsung.
"Dua kerentanan utama adalah bagaimana Anda tahu orang-orang tidak mengisi surat suara di bawah tekanan, dan bagaimana Anda tahu bahwa pemungutan suara sudah sampai ke tempat yang perlu dihitung," kata Cheeseman.
Namun dia menambahkan bahwa surat suara "aman jika institusi aman dan tidak memihak," dan bahwa "sangat sedikit bukti bahwa pemungutan suara melalui pos dimanipulasi di masa lalu."
Baca: KPU Siapkan Alat Mirip Tusuk Gigi Untuk Coblos Surat Suara
Penerapan Surat Suara Melalui Pos
Surat suara melalui pos dan alternatif lain untuk pemilihan langsung sebelumnya telah berhasil diterapkan di negara lain juga, dari Australia hingga Inggris.
Katya Andrusz dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Kantor Eropa untuk Lembaga Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, yang akan memantau pemilihan AS, menunjuk ke Swiss, di mana diperkirakan metode ini digunakan oleh 90% pemilih.
Laporan organisasinya tentang pemilu Swiss 2019 menjelaskan bahwa hal itu dimungkinkan karena pemilih "harus mengirimkan kartu identitas pemilih mereka, menggunakan sistem amplop ganda, bersama dengan surat suara untuk mencegah kemungkinan memberikan suara tambahan di TPS."
Trump juga mengaitkan klaimnya yang tidak berdasar tentang penipuan pemungutan suara melalui surat dengan saran eksplosifnya bulan lalu bahwa pemilihan AS ditunda sampai pandemi mereda.
Hanya Kongres yang dapat menunda pemilihan presiden, tetapi komentarnya masih memicu kecaman yang hampir universal.
Pemilu ditunda di banyak negara sejak pandemi dimulai.
Di beberapa negara tersebut, para kritikus percaya bahwa pandemi dieksploitasi oleh politisi yang ingin menghindari para pemilih.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)