Donald Trump, Sikap Taliban, Pilpres AS 2020, dan Masa Depan Afghanistan
Presiden AS Donald Trump dinilai punya kontribusi besar mengakhiri pendudukan AS di Afghanistan. Kelompok Taliban berharap Trump terpilih kembali.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Kelompok Taliban Afghanistan memandang penting kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden 3 November 2020.
Terpilihnya kembali Donald Trump, membuka kesempatan pengakhiran kehadiran militer AS secara permanen di Afghanistan.
"Diplomat Taliban melihat rencana perdamaian ini sebagai hal penting bagi generasi Afghanistan di masa depan", kata Sabtain Ahmed Dar, penulis dan analis politik Pakistan.
Pernyataan Ahmed Dar dikutip kolumnis Sputniknews, Ekaterina Blinova di kolom opininya, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Bentrok Pasukan Afghanistan dan Militan Taliban Tewaskan Puluhan Orang
Baca juga: Dukung Perdamaian di Afghanistan, PBB Perpanjang Misi UNAMA Selama Setahun
Baca juga: Kesepakatan Damai Diragukan Setelah Taliban Menyerang Pangkalan Militer Afghanistan
Blinova seorang koresponden lepas media Rusia ini sejak 2014. Ia seorang spesialis sejarah, mengkhususkan bidang politik AS, Eropa, Timur Tengah, dan Asia.
"Perjanjian ini telah dilihat sebagai langkah awal yang signifikan dan kuat untuk negosiasi intra-Afghanistan,” lanjut Ahmed Dar sebagaiana dikutip Blinova.
Trump dianggap memiliki peran besar atas langka baru penarikan pasukan AS setelah hampir 20 tahun tiba di Afghanistan.
Ketiadaan AS di negara itu membuka kesempatan besar pembentukan pemerintahan nasional Islam yang baru.
Kontroversi Wawancara CBS News dan Sikap Taliban
Di sisi lain, Sabtain Ahmed Dar memperkirakan, kemungkinan kemenangan Joe Biden pada Pilpres mendatang dapat menggagalkan pembicaraan damai intra-Afghanistan.
Kabar mengejutkan dirilis CBS News, mengutip kata-kata juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid yang dikutip mengatakan mereka (Taliban) berharap Donald Trump akan memenangkan Pilpres AS.
Pernyataan Mujahid yang dikutpui CBS News itu ditepis Tim Murtaugh, Direktur Komunikasi Timses Donald Trump. Ia menolak dukungan Taliban itu.
Setelah beritanya viral di CBS News, Zabihullah Mujahid mengklarifikasi CBS News menafsirkan dan menerbitkan pernyataannya secara tidak benar.
"Tidak ada hal semacam itu yang dikomunikasikan seperti yang dipublikasikan oleh mereka (CBS News)", tegas Zabihullah lewat cuitan di akun Twitternya.
Pemerintah AS dan Taliban pada Februari 2020 di Doha, Qatar, meneken kesepakatan damai, guna mengakhiri konflik 19 tahun di Afghanistan.
Jika persyaratan anti-teror dalam perjanjian itu dipenuhi, kontingen militer AS akan menarik diri dari negara Asia Tengah itu selambatnya Mei 2021.
Terlepas dari kesalahpahaman pernyataan Zabihullah Mujahid oleh CBS News, faktanya Taliban memandang rencana Trump sebagai perkembangan positif.
Tugas Berat Mengakhiri Perlawanan ISIS Afghanistan
Prospek politik itu pada akhirnya akan mengakibatkan penutupan semua pangkalan militer dan penarikan semua pasukan AS dan pasukan asing dari Afghanistan.
Pekerjaan rumah terbesar, pemerintah Afghanistan yang sekarang berkuasa, dan kelompok Taliban harus mampu mengakhiri perlawanan atas kelompok teroris Negara Islam Provinsi Khorasan (ISKP) atau ISIS Afghanistan.
Menurut Ahmed Dar, mencapai tujuan ini bukan perkara mudah bagi rakyat Afghanistan.Mereka karena bergantung pada banyak variabel dalam konteks keseimbangan kekuasaan di Negara itu.
Perjanjian AS-Taliban ini menunjukkan realitas politik, Washington untuk pertama kalinya sejak 1996 menerima kehadaran Taliban di Afghanistan.
Meski di mata Washington dan barat, Taliban telah lama digambarkan sebagai ekstremis Islam dan pendukung Al- Qaeda, selalu merupakan kelompok Afghanistan lokal yang berbeda dari para jihadis internasional.
Taliban, juga dikenal sebagai Imarah Islam Afghanistan, adalah gerakan politik Islam dan organisasi militer yang menguasai sebagian besar negara antara 1996 dan 2001.
Meskipun invasi militer pimpinan AS pada 2001 menjatuhkan pemerintahan Taliban, kelompok itu terus mempertahankan kekuasaannya atas sejumlah provinsi dan kabupaten di negara itu.
Mereka menolak mengakui pemerintah Kabul, menetapkan hukum dan peraturan terpisah untuk penduduk yang tinggal di wilayah yang dikuasainya.
Ekaterina Blinova menulis, untuk memahami dasar-dasar dan implikasi dari perjanjian AS-Taliban, penting untuk menentukan apa yang telah disepakati Taliban dan AS.
Pertama, Taliban telah sepakat mereka tidak akan menimbulkan ancaman apa pun bagi militer AS dan sekutunya di Afghanistan.
Setiap kelompok bersenjata yang dinyatakan sebagai teroris oleh Amerika Serikat akan diperangi dan dibasmi oleh Taliban.
Kedua, AS setuju menarik semua tentaranya, sekutunya dan kontraktor militer swasta dalam 14 bulan, menutup lima pangkalan militer dan mengurangi jumlah pasukan AS di Afghanistan menjadi 8.600 tentara saja.
Ketiga, awal negosiasi antara pemerintah Kabul dan Mullah Baradar, juru runding Taliban, akan dimulai dengan pertukaran dan pembebasan tahanan dari kedua pihak, dimulai Maret 2020.
Keempat, AS menyambut baik peran prospektif Taliban dalam pemerintahan Islam Afghanistan pasca-penyelesaian baru seperti yang ditentukan negosiasi intra-Afghanistan.
Posisi Taliban dalam Pemerintahan Baru di Kabul
Pada saat yang sama, tidak ada persatuan di dalam lingkaran kekuasaan Afghanistan dengan Dr Abdullah Abdullah, Kepala Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional (HCNR), yang telah lama berselisih dengan Presiden Ashraf Ghani.
Setelah pemilihan presiden Afghanistan 2019, Abdullah dan Ghani mengambil sumpah jabatan presiden pada upacara pelantikan terpisah pada 9 Maret 2020.
Pada Mei, kedua politisi tersebut menandatangani perjanjian pembagian kekuasaan yang bertujuan untuk menunjuk Abdullah sebagai kepala HCRN yang bertanggung jawab atas pembicaraan damai Afghanistan dengan Taliban.
Masa depan politik Ashraf Ghani bisa menipis jika Trump kembali terpilih, dan menyelesaikan kewajiban tersisa dari proses perdamaian Afghanistan.
Ahmed Dar percaya, Taliban kemungkinan akan menempatkan dukungan mereka kepada Dr Abdullah Abdullah.
"Perhitungan strategis Taliban, mereka telah memperoleh keuntungan militer di tanah air mereka sejak 2001 dan untuk mendapatkan kebijaksanaan politik untuk pembagian kekuasaan dan konstitusi baru, mereka harus melibatkan Dr Abdullah Abdullah untuk membentuk pemerintahan campuran di Kabul yang akan diterima oleh pemerintahan Trump, " kata Ahmed Dar.
Kemenangan Biden Dapat Mengantar Gejolak Baru
Namun, jika Trump kalah dalam pemilihan ulangnya, rencana perdamaiannya yang berani untuk Afghanistan menurut Ahmed Dar, berpotensi dikoreksi.
Sumber-sumber media AS yang berhaluan kiri telah berulang kali menyuarakan skeptisisme atas rencana perdamaian Afghanistan Trump.
The Atlantic mengklaim, sementara George WBush dan Barack Obama berusaha memusnahkan atau secara substansial menurunkan Taliban, Trump melangkah lebih jauh lewat keputusan politiknya itu.
"Joe Biden bukan hanya seorang Demokrat, berteman dengan elang perang di Washington, tetapi perwakilan kuat dari negara dalam negara AS, yang telah lama menjadi bagian dari struktur kekuasaan AS sejak 1973," lanjut Ahmed Dar.
Krisis Afghanistan dan hadiah perang dalam bentuk lithium, kobalt, opium, dan lain-lain merupakan sumber pendapatan yang besar bagi industri militer AS.
Saat wawancara kepada Stars and Stripes, surat kabar militer AS, pada awal September, Joe Biden mengatakan dia akan mempertahankan kontingen militer AS yang terbatas di Afghanistan dan Irak untuk membantu memerangi kelompok teroris.
"Perang selamanya ini harus diakhiri ... tapi inilah masalahnya, kita masih harus khawatir tentang terorisme," kata Biden.
Kebijakan luar negeri AS selama bertahun-tahun menggunakan Afghanistan sebagai pijakan untuk mempertahankan kendali atas Asia Tengah.
Menurut Sabtain Ahmed Dar, Operasi Enduring Freedom (2001-2014) oleh AS telah menciptakan anarki baik di dalam Angkatan Bersenjata Pakistan maupun penduduk sipil.
"Inilah mengapa pasifis di AS, Afghanistan, Taliban dan Pakistan diam-diam akan mendukung Donald Trump untuk masa jabatan keduanya,"ujar analis politik Pakistan ini.
"Jika tidak, sejarah yang sama dari kekacauan tak berujung akan terulang di Afghanistan jika Joe Biden entah bagaimana dipilih oleh (rakyat) Amerika dalam pemungutan suara November," tandasnya.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)