Arab Saudi Isyaratkan Akhiri Konflik dan Blokade ke Qatar
Pada 2017, Arab Saudi bersama dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Doha.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengisyaratkan akan mengakhiri perselisihan tiga tahun dengan tetangganya di Teluk, Qatar.
Perkembangan menarik ini terjadi menyusul pertemuan di Washington antara Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Menlu Saudi Pangeran Faisal bin Farhan.
Pada 2017, Arab Saudi bersama dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Doha.
Blokade laut, darat dan udara ke negara kaya gas itu dilakukan. Namun Qatar tidak terlampau berdampak. AS memiliki pangkalan militer terbesar Timur Tengah di negara itu.
Turki pun memperkuat hubungan dengan Qatar, dan belum lama ini mendirikan pangkalan militer baru di Negara mungil itu.
"Kami berkomitmen untuk menemukan solusi," kata Pangeran Faisal bin Farhan dalam diskusi virtual oleh Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat, Jumat (16/10/2020) WIB.
“Kami bersedia melakukan pendekatan ke saudara-saudara Qatar kami, dan kami berharap mereka juga berkomitmen untuk itu,” lanjut Pangeran Faisal.
"Tapi kita perlu mengatasi isu keamanan dari kuartet (Saudi, Bahrain, UEA dan Mesir), dan saya pikir ada jalan menuju solusi dalam waktu relatif dekat," lanjutnya.
Empat negara sekutu yang memblokade Qatar menuduh pemerintah negara itu mendukung terorisme, dan mencampuri urusan dalam negeri mereka selama bertahun-tahun.
Terorisme yang dimaksud diduga kelompok Ikhwanul Muslimin yang diberi tempat di Qatar. Doha juga dituduh terlalu dekat dengan Iran.
Qatar dengan keras membantah klaim tersebut. Pemerintahan Trump telah mendorong diakhirinya blokade dan membuka jalan bagi Teluk yang bersatu melawan Iran.
Beberapa upaya di masa lalu untuk mengakhiri perselisihan telah gagal, karena Qatar telah menolak tuntutan negara-negara yang memblokade Negara itu.
Tuntutan itu mencakup penutupan jaringan media Al Jazeera, memutuskan hubungan dengan kelompok-kelompok Islam, membatasi hubungan dengan Iran dan mengusir pasukan Turki yang ditempatkan di negara itu.
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani mengatakan negaranya siap berdialog untuk menyelesaikan krisis diplomatic.
Tapi ia menekankan solusi apa pun untuk krisis tersebut harus menghormati kedaulatan negaranya.
Pada Juni, Kuwait, mediator Qatar dan kuartet tetangganya di Teluk Arab, mengatakan ada sedikit kemajuan menyelesaikan kebuntuan.
Desember 2019, Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan pembicaraan awal dengan Arab Saudi telah memecahkan kebuntuan.
Tapi sebulan kemudian dia mengatakan upaya untuk menyelesaikan perselisihan itu tidak berhasil.
Pangeran Faisal mengunjungi Washington untuk dialog strategis AS-Saudi di Departemen Luar Negeri, Rabu lalu, mencakup hubungan dengan Israel, kampanye "tekanan maksimum" AS melawan Iran dan perang di Yaman.
Pompeo Arab Saudi untuk mengakui Israel, dalam apa yang akan menjadi dorongan strategis bagi negara Yahudi di tengah normalisasi dengan dua kerajaan Teluk Arab lainnya, UEA dan Bahrain.
Bahrain, yang secara erat mengoordinasikan kebijakan luar negerinya dengan Arab Saudi dan UEA pada 15 September menandatangani apa yang disebut Abraham Accords dengan Israel di Gedung Putih.
Tetapi Pangeran Faisal mengatakan fokus harus tetap pada pembicaraan damai Palestina-Israel sebelum ada hubungan resmi antara Israel dan Arab Saudi.
Dia menekankan pentingnya negosiasi sembari menambahkan solusi konflik dapat dimungkinkan jika mereka terus berbicara mencapai tujuan bersama, yaitu penyelesaian untuk semua pihak.
“Kami berkomitmen pada proses perdamaian sebagai kebutuhan strategis untuk kawasan, dan bagian dari itu adalah normalisasi dengan Israel seperti yang dibayangkan dalam rencana perdamaian Arab,” katanya.
"Tapi fokusnya perlu untuk membawa Palestina dan Israel ke meja perundingan," tegas Pangeran Faisal.
Riyadh diam-diam telah menyetujui kesepakatan UEA dan Bahrain, meskipun secara resmi tidak menunjukkan dukungan. Arab Saudi mengisyaratkan tidak siap untuk mengambil tindakan sendiri.
Para pejabat Palestina mengutuk normalisasi itu sebagai tusukan di belakang perjuangan Palestina dan rakyat Palestina.
Mengatasi masalah regional lainnya, Pangeran Faisal mengatakan Arab Saudi tidak mencari konflik dengan Teheran.
Tetapi mereka berpendapat kampanye tekanan maksimum Presiden AS Donald Trump berhasil, melemahkan pemerintah Iran dan menguras sumber daya yang dibutuhkan untuk menopang proksi di wilayah tersebut.
Riyadh dan Teheran telah terlibat dalam perang proksi di seluruh wilayah selama beberapa dekade dari Irak hingga Suriah dan Yaman.
Pemerintahan Trump, yang didukung sekutu terdekatnya Israel, telah memberikan sanksi baru pada Iran untuk menekannya agar meninggalkan program nuklirnya.
Mendukung pendekatan kelompok garis keras di pemerintahan Trump ke Iran, Menlu Saudi mengatakan akan membawa Iran kembali ke meja perundingan untuk mendiskusikan JCPOA .
Presiden Trump pada 2018 menyatakan AS keluar dari kesepakatan nuklir itu. Kesepakatan itu ditandatangani Barack Obama.
Uni Eropa, China, Prancis, Rusia, Inggris Raya, dan Jerman adalah penandatangan lain kesepakatan 2015 yang menyerukan pembatasan program nuklir Teheran dengan imbalan keringanan sanksi.(Tribunnews.com/Sputniknews/Aljazeera/xna)