Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bertemu Abu Zubaydah, Operator Utama Osama bin Laden di Peshawar Pakistan (4)

Omar Nasiri mengetahui ada sentimen Taliban terhadap orang-orang Arab di kamp Al Qaeda. Pertikaian antarfaksi mujahidin juga terasa kuat.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Bertemu Abu Zubaydah, Operator Utama Osama bin Laden di Peshawar Pakistan (4)
Foto Buku Omar Nasiri
Buku Inside The JIhad ditulis Omar Nasiri, mata-mata berbagai lembaga intelijen Eropa yang sukses menyusupi Al Qaeda di Afghanistan. 

Samuel Paty, seorang guru sejarah di Prancis, tewas dipenggal pemuda berdarah Chechnya. Aksi ini menyodorkan fakta betapa paham radikal begitu dalam menyusupi bangsa Prancis. Omar Nasiri lewat bukunya “Inside The Jihad: A Spy’s Story”, menguak bagaimana kaum radikalis bekerja di Eropa. Banyak hal bisa dicegah, termasuk serangan maut  9/11 ke New York, jika saja Nasiri tak diremehkan. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Omar Nasiri telah dua bulan lamanya tinggal dan berlatih di kamp Khaldan. Ia termasuk orang yang cukup lama berada di ceruk pegunungan Hindu Kush itu.

Ada yang datang hanya untuk beberapa minggu. Mereka berlatih keahlian khusus. Misalnya penyergapan konvoi atau sabotase meledakkan jembatan.

Mereka umumnya berasal dari Tajikistan, Uzbekistan, Kirgistan, Kashmir, dan Chechnya. Latihan dijalankan secara khusus, tertutup dan langsung ditangani mentor paling top di kamp itu.

Banyak di antaranya juga masih remaja. Datang dari negerinya membawa kekosongan jiwa. Mereka lolos dari kematian keji yang ditimbulkan tentara Rusia yang menduduki wilayah mereka.

Nasiri terkesan pada seorang remaja asal Tajikistan. Usianya sekitar 14 tahun. Ia tidak pernah tersenyum. Pemuda itu berlatih sangat-sangat keras.

Baca juga: Omar Nasiri, Mata-mata Itu Hidup di Tengah-tengah Radikalis Aljazair di Brussel (1)

Baca juga: Omar Nasiri Mendengar Rekaman Dramatis Detik-detik Serbuan Pembajak Pesawat  Air France 8969 (2)

Baca juga: Omar Nasiri Berhasil Memasuki Sarang Mujahidin di Kamp Khaldan Afghanistan (3)

Ia bahkan terus berlatih di luar jadwal. Menempa fisiknya dengan mengangkat barbel yang lebih berat dari bobot tubuhnya.  Ia terlihat sering kesepian.

Berita Rekomendasi

Nasiri berusaha ngobrol dan mencandai anak itu. Tapi ia tidak pernah memekarkan bibirnya. Senyum seolah pergi dari wajahnya.

Ia mencoba mencari tahu dari pemuda lain di kelompok orang Tajik itu. Nasiri bertanya, mengapa bocah itu berlatih begitu kerasnya.

Ia mendapat jawaban, bocah itu sebelumnya dipaksa tentara Rusia berdiri di bawah todongan senjata, menyaksikan keluarganya ditembaki dari jarak dekat. 

Cerita semacam itu sering didengarnya dari orang yang datang dan pergi dari kamp Khaldan. Banyak di antara penghuni kamp, hidup dalam penderitaan, dendam, dan amarah yang tak terkira.

Omar Nasiri Menerima Doktrin Ideologis dari Syaikh Ibn al-Libi 

Syaikh Ibn al-Libi selama berada di kamp, setiap malam akan membimbing para penghuni, menajamkan pemahamannya tentang jihad dan perang melawan musuh-musuh Islam.

Al-Libi menekankan pentingnya melawan sekulerisme dan rezim-rezim boneka asing. Nasiri merasakan semacam gelora yang secara pasti membakar militansi para penghuni kamp.

Meski tiap hari berlatih keras, Nasiri merasakan suasana yang cocok di pegunungan itu. Terlebih Khaldan begitu terpencil, dan begitu juah dari kegaduhan seperti di kota-kota besar di Asia dan Eropa.

Radio ada, dan kadang diam-diam dinyalakan. Mereka menangkap sayup-sayup siaran radio hiburan dari China, India, dan tempat-tempat lainnya.  Suaranya datang secepat ia pergi.

Nasiri mengaku hanya pernah sekali mendengar siaran musik memutar agak utuh, tembang Zombie dari Cranberries. Untuk radio berita, siaran BBC dan RFI bisa ditangkap secara jelas.

Tahun itu 1995, Afghanistan terjerumus pertikaian faksi Islam. Gulbudin Hekmatyar dari Hezb i-Islami bertarung melawan faksi Burhanudin Rabbani yang berkuasa dan Ahmad Shah Masood.

Mereka juga menghadapi Taliban, yang mulai berjaya dengan dukungan intelijen Pakistan. Kabul terkepung, menunggu waktu jatuh ke tangan Taliban.

Penghuni kamp Khaldan tidak begitu menyukai Taliban, meski tidak pernah terungkap secara verbal. Sheikh al-Libi sangat berhati-hati tentang ini.

Kamp itu pernah didatangi serombongan Taliban bersenjata lengkap. Mereka menginginkan senjata dan amunisi yang disimpan di kamp itu.

Sheikh al-Libi menerima secara ramah rombongan Taliban. Ia meyakinkan semua yang di kamp itu tidak disiapkan untuk berperang di Afghanistan.

Para Taliban itu bisa menerima penjelasan al-Libi. Mereka kemudian pergi ke kamp-kamp lain.  Nasiri mendengar di kamp lain, para emir ketakutan dan memenuhi tuntutan Taliban.

Bertemu Abu Hamza, Tokoh Radikal Inggris yang Tangannya Buntung

Kehidupan di Khaldan kembali berlangsung normal, kendati diliputi kekhawatiran tekanan berulang dari kelompok Taliban.

Hingga suatu hari, Nasiri menyaksikan momen sangat menarik. Dua bocah laki-laki tiba di kamp. Ibnu Sheikh al-Libi memperkenalkan mereka kepada penghuni di masjid kamp.

“Sambutlah kawan-kawan baru kalian. Ini Hamza,” ucapnya menunjuk anak laki-laki yang lebih tua. “Dan ini Osama,” lanjut al-Libi.  Keduanya tampak diperlakukan lebih istimewa.

Kedua bocah itu sangat berbeda karakter. Hamza pendiam, adiknya hiperaktif. Mereka kerap berkelahi, bahkan pernah saling todong senjata api.

Nasiri akhirnya mengorek latar belakang anak itu, dan tahu ayah kedua bocah itu tokoh penting dari Mesir. Ia ilmuwan yang mendapatkan pendidikan di Kanada.

Ayah kedua bocah itu teman karib Zubayda, tokoh penting yang mengatur lalulintas orang Arab ke kamp di Afghanistan. Ia tinggal di Peshawar, Pakistan.

Kelak Nasiri tahu Zubayda ini dikenal dengan sebutan Abu Zubaiyda, aktor vital serangan 9/11.  Osama, bocah yang hiperaktif itu juga menyebut nama Osama.

Ia menyebut Osama ini orang yang membantu membangun jalan di Afghanistan sesudah perang saudara. Osama yang dimaksud ternyata Osama bin Laden.

Sedangkan si orang tua kedua bersaudara itu belakangan diketahui bernama Ahmad Khadr, berkebangsaan Kanada. Ia tewas dalam baku tembak dengan aparat Pakistan pada 2003.

Beberapa pekan kemudian, Omar Nasiri ternyata mendapatkan perintah keluar Khaldan. Ia diminta pergi ke Peshawar, menemui Abu Zubayda, untuk mendapatkan instruksi selanjutnya.

Ia ternyata disuruh melanjutkan pelatihan demolition atau peledakan di kamp Darunta di luar kota Jalalabad.  Ini kamp besar yang memiliki sarana jauh lebih besar dan kuat.

Nasiri pergi ke sana, dan rupanya Asadullah, orang yang akan melatihnya sedang terluka. Tidak ada yang bisa dilakukan di kamp orang Arab itu.

Ia akhirnya diajak pergi ke kamp Hezb i-Islami, faksi terkuat Afghanistan yang dipimpin Gulbudin Hekmatyar. Kamp itu terdiri dari dua bagian.

Bagian yang dihuni warga Afghanistan, dan satunya kamp untuk militant Arab. Mereka berjuang bersama, namun memisahkan diri satu sama lain karena berbagai alasan.

Di kamp Darunta, Omar Nasiri mendapatkan ilmu banyak tentang peledakan menggunakan berbagai bahan. Mulai dari yang sederhana, hingga bahan peledak tingkat tinggi, padat maupun cair.

Asadullah menjadi instruktur yang sangat mumpuni. Ia seorang yang teliti, tegas, dan tidak kenal kompromi. Di laboratorium, tak seorangpun diizinkan bercanda.

Dari Asadullah pula, Nasiri mengetahui seorang peserta pelatihan pernah mengalami kecelakaan. Saat itu sedang latihan menggunakan nitrogliserin, bahan peledak cair.

Rupanya reaksi kimianya tidak diperhatikan. Bahan itu menjadi terlalu panas, melewati ambang batas, dan bakal meledak.

Seorang peserta pelatihan  menggenggam wadah nitrogliserin, mencoba membawanya keluar ruangan. Tepat di luar pintu, benda itu meledak.

Tangan orang itu cedera berat. Begitu pula matanya. “Apakah dia selamat?” tanya Nasiri.  “Ya, dia sekarang tinggal di London. Namanya Abu Hamza,” jawab Asadullah.

Nasiri tidak tahu siapa lelaki yang disebut mentornya. Tapi kelak, orang itulah yang akan menjadi sosokpenting dalam hidupnya.

Abu Hamza, seorang pendakwah kondang di London yang tangannya dipasangi kait penjepit.  Ceramah-ceramahnya sangat provokatif dan sangat merepotkan pemerintah Inggris.

Kamp Darunta pada akhirnya dikenal sebagai pusat pelatihan peledakan yang dijalankan Al Qaeda. Di sinilah pakar bom Abu Khabab al-Masri merekrut dan melatih calon-calon pengebom bunuh diri.

Kreasi bomnya luar biasa, dari bom rakitan konvensional hingga biologi kimia. Al Masri melatih Ahmed Ressam, yang tertangkap membawa truk penuh bom di perbatasan Kanada-AS pada 1999.

Ia juga melatih Richard Reid, pelaku bom sepatu yang terbang dari Eropa menuju AS. Serta melatih Zacarias Moussaoui, si pembajak abad 20.

Tahun 2006, AS mengklaim menewaskan al-Masri lewat serangan pesawat tak berawak Predator di Damadola, Pakistan.

Nasiri tak pernah melihat wajah atau memiliki foto al-Masri. Tapi ia yakin orang itulah yang pernah ia lihat memasuki laboratorium bom di kamp Darunta.

Setahun setelah melebur di kamp Al Qaeda di Khaldan dan Darunta, kini tiba bagi Omar Nasiri untuk meninggalkan Afghanistan. Ia digadang-gadang melakukan misi khusus, menyusup ke Eropa.

Meninggalkan Darunta bersama Sheikh Ibn al-Libi, mereka menuju Peshawar, Pakistan. Melintasi perbatasan Afghanistan-Pakistan begitu berbahayanya.

Sentimen antiArab sedang meluap. Aparat keamanan memburu orang-orang Arab yang diduga terkait pengeboman Kedubes Mesir di Islamabad beberapa waktu sebelumnya.

Pengeboman itu memang dikendalikan dari Afghanistan, termasuk pelakunya yang orang-orang Mesir, disiapkan di kamp Darunta.

Omar Nasiri telah berada di Peshawar. Ia bertemu Abu Zubaydah, menerima paspor dan semua perbekalannya. Ia diberi uang untuk membeli tiket ke Istanbul, Turki.

Zubaydah dan Sheikh Ibn al-Libi meminta Nasiri membuat sel baru di Eropa. Mereka merasa Nasiri lah orang paling tepat untuk tugas itu, melihat pribadinya yang  sangat Eropa.

Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Omar Nasiri meninggalkan Peshawar, menumpang kendaraan menuju Islamabad. Ia lalu terbang dan mendarat selamat di Istanbul. (Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga – Bersambung)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas