Puluhan Demonstran Ditangkap Aparat Kepolisian dari Berbagai Kota di Amerika Serikat
Puluhan pengunjuk rasa di Seattle, Minneapolis, dan Portland, Amerika Serikat ditangkap aparat kepolisian.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Puluhan pengunjuk rasa di Seattle, Minneapolis, dan Portland, Amerika Serikat ditangkap aparat kepolisian.
Mereka ditangkap karena melakukan protes yang mengganggu ketertiban umum.
Mereka berdemonstrasi dengan berbagai tuntutan, salah satunya adalah menuntut semua suara dalam Pemilu AS untuk dihitung.
Di Seattle, tujuh orang ditangkap.
Satu orang di antaranya ditangkap karena diduga merusak properti dan dibawa ke rumah sakit setelah mengalami gangguan medis.
Baca juga: Tuding Ada Penipuan Saat Penghitungan Suara, Tim Kampanye Donald Trump Berniat Tuntut Nevada
Di Minneapolis, polisi bahkan menangkap lebih dari 600 demonstran yang berbaris di jalan antar negara bagian di Minneapolis, Rabu (4/5/2020) malam.
Mereka memprotes ancaman Trump untuk menggugat hasil pemilu.
Menurut polisi, mereka tidak menggunakan kekerasan dan bahan kimia ketika melakukan penangkapan.
Pengunjuk rasa di Minneapolis ditangkap karena berjalan di jalan bebas hambatan dan mengganggu pengguna jalan.
Baca juga: Donald Trump Dikabarkan Marahi Pemilik Fox News Terkait Pemberitaan Kemenangan Joe Biden di Arizona
Di Portland, Oregon, pengunjuk rasa menghancurkan jendela pertokoan, melemparkan benda-benda dan kembang api ke arah petugas keamanan. Polisi melakukan setidaknya 10 penangkapan di kota ini.
Menurut pernyataan dari kantor sheriff Multomah, petugas menyita banyak senjata api, amunisi, pisau, kembang api, pelindung tubuh dan masker gas dari orang-orang yang ditangkap,
Salah satu orang yang ditangkap memiliki senapan dengan magasin amunisi, kembang api, pisau, dan mengenakan rompi balistik.
Gubernur Oregon Kate Brown meminta Pengawal Nasional untuk menangani kerusuhan di Portland, yang telah menjadi tempat protes reguler selama berbulan-bulan.
Baca juga: 5 Cuitan Kontroversial Donald Trump Saat Pemilu Presiden AS, Sebut Hasil Pemungutan Suara Penipuan
"Sangat penting untuk mempercayai proses demokrasi dan sistem. Selama beberapa dekade, negara ini telah memastikan pemilu yang bebas dan adil, bahkan di saat krisis besar," kata Brown seperti dilansir dari the Associated Press.
Di New York, ratusan orang berpawai melewati toko-toko mewah yang ditutup papan di Fifth Avenue Manhattan.
Sedangkan di Chicago, para demonstran berbaris melalui pusat kota dan di sepanjang jalan di seberang sungai dari Trump Tower.
Para pengunjuk rasa juga berkumpul di kota-kota lain seperti Los Angeles, Houston, Pittsburgh dan San Diego.
Pendukung Donald Trump Serbu Pusat Penghitungan Suara
Pertarungan Pemilihan Presiden (AS) yang mempertemukan calon petahana Donald Trump dengan rivalnya Joe Biden berlangsung panas.
Terlebih, Donald Trump untuk sementara ini kalah perolehan suara dari Joe Biden.
Akibatnya, puluhan pendukung Donald Trump menyerbu pusat-pusat penghitungan suara di Detroit dan Phoenix.
Mereka marah karena perolehan suara Donald Trump di kedua negara bagian tersebut jauh di bawah rival Trump, kandidat presiden dari Partai Demokrat Joe Biden.
Sementara, ribuan demonstran anti-Trump turun ke jalan di kota-kota besar di seluruh AS.
Baca juga: Bos UFC Pendukung Donald Trump, Apa yang Terjadi Jika Joe Biden Menang Pilpres Amerika Serikat?
“Hentikan penghitungan suara!” demikian seruan para pendukung Trump di Detroit.
Sementara di Phoenix, seruan “Hentikan pencurian (suara)!” bergema di pusat penghitungan suara.
Mengenakan atribut Trump, para pendukung Trump memenuhi area parkir pusat penghitungan suara di Maricopa County di Phoenix.
Sebagian dari mereka juga menghujat Fox News yang telah menyiarkan kemenangan Joe Biden di negara bagian Arizona.
Aksi protes ini digelar menyusul klaim tanpa bukti Trump bahwa ada kecurangan dalam penghitungan surat suara, terutama surat suara yang dikirim melalui pos.
Baca juga: Kerusuhan di Kota Portland Amerika, Polisi Lucuti Senjata Demonstran
Kubu Trump juga melayangkan tuntutan adanya praktik kecurangan dalam penghitungan suara di sejumlah negara bagian.
Kendati begitu, proses penghitungan suara tetap berlangsung hingga malam, disaksikan para pengamat dari kedua kubu.
Dua pejabat Maricopa County, Phoenix mengeluarkan pernyataan bersama yang menyayangkan adanya misinformasi tentang integritas proses pemilihan.
“Setiap orang tentu menginginkan setiap surat suara dihitung, entah itu lewat pos atau diberikan secara langsung,” demikian pernyataan Ketua Dewan Pengawas Maricopa dari Partai Republik Clint Hickman dan Steve Gallardo dari Partai Demokrat.
Baca juga: UPDATE Hasil Pilpres AS 2020: Joe Biden Unggul Sementara, Peluang Trump Masih Ada
“Penghitungan suara yang akurat tentu memakan waktu. Inilah bukti demokrasi, bukan penipuan.”
Sementara, dari New York hingga Seattle, ribuan demonstran turun ke jalan, mendesak agar setiap suara dihitung.
Di Portland, Oregon, gubernur Kate Brown menurunkan Garda Nasional untuk menangani demonstrasi yang berubah menjadi aksi kekerasan dan perusakan.
Demonstran memprotes beragam isu, di antaranya kebrutalan polisi dan penghitungan suara pilpres AS.
“Penting untuk percaya pada proses dan sistem yang telah menjamin pemilihan yang bebas dan adil di negara ini selama puluhan tahun, bahkan di saat krisis,” kata Brown dalam pernyataannya.
“Kita semua bersama-sama dalam hal ini.”
Di Seattle, pihak berwenang menangkap 7 orang terkait aksi demonstrasi.
Di New York dan Chicago, ratusan orang juga turun ke jalan.
Aksi serupa memprotes pilpres AS dan kesenjangan rasial juga berlangsung di Los Angeles, Houston, Pittsburgh, Minneapolis dan San Diego.
Saat ini dalam electoral vote, Biden tengah memimpin dengan 264, sedangkan Trump memiliki 214.
Ditentukan Electoral Collage
Pemilihan presiden Amerika Serikat ( pilpres AS) berlangsung pada 3 November 2020.
Sebagaimana pilpres-pilpres sebelumnya kemenangan bukan ditentukan oleh suara publik ( popular vote) tapi Electoral College (Dewan Elektoral).
Setiap empat tahun, orang-orang yang duduk di Dewan Elektoral adalah yang sebenarnya menentukan siapa presiden dan wakil presiden baru AS.
Berikut adalah penjelasan apa itu Electoral College dan mengapa jadi kunci kemenangan di pilpres AS.
Ketika orang-orang Amerika pergi ke TPS, mereka sebenarnya memilih sekelompok pejabat yang akan menduduki Electoral College.
Kata "college" di sini bermakna sekelompok orang dengan tugas bersama. Orang-orang ini disebut electors, dan tugasnya adalah memilih presiden serta wakil presiden.
Pertemuan Dewan Elektoral dilakukan 4 tahun sekali, beberapa minggu setelah hari pemilihan.
Bagaimana cara kerja Electoral College?
Dilansir dari BBC pada Rabu (28/10/2020), setiap negara bagian secara kasar punya jumlah electors sesuai jumlah penduduknya. Semakin banyak penduduknya, maka elector-nya semakin banyak.
Masing-masing dari 50 negara bagian AS ditambah Washington DC memiliki jumlah electoral votes yang sama dengan jumlah anggotanya di DPR ditambah dua Senator mereka.
California memiliki jumlah electors terbanyak yaitu 55, sedangkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota (serta Washington DC sebagai ibu kota) minimal punya 3, sehingga total ada 538 electors.
Setiap elector mewakili jatah satu electoral vote, dan capres harus meraup minimal 270 electoral votes untuk melenggang ke Gedung Putih.
Biasanya negara bagian memberikan semua suara Dewan Elektoral untuk capres yang memenangkan suara dari popular votes.
Misalnya jika seorang capres menang 50,1 persen suara di Texas, dia akan mendapat semua dari 38 electoral votes di negara bagian itu.
Oleh karena itu capres bisa menjadi presiden AS dengan memenangkan sejumlah negara bagian krusial, meski memiliki suara publik yang lebih sedikit dari seluruh negeri.
Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang menggunakan metode "distrik kongresional".
Artinya, satu elector dipilih di setiap distrik kongresional berdasarkan pilihan rakyat, sedangkan dua electors lainnya dipilih berdasarkan pilihan terbanyak rakyat di seluruh negara bagian.
Inilah sebabnya mengapa para capres menargetkan negara bagian tertentu, daripada mencoba memenangkan sebanyak mungkin suara publik di seluruh penjuru negeri.
Adakah capres yang kalah popular vote tapi menang pilpres?
Ada dua dari lima pilpres terakhir yang dimenangkan oleh capres dengan suara publik lebih rendah dibandingkan lawannya.
Terbaru, pada 2016 Donald Trump kalah hampir 3 juta suara publik dari Hillary Clinton tapi berhak menduduki kursi nomor 1 di Gedung Putih karena menang mayoritas di Electoral College.
Sebelumnya pada 2000 George W Bush juga menang di Electoral College dengan 271 suara, meski Al Gore dari Partai Demokrat unggul lebih dari 500.000 suara di popular votes.
Mundur lebih jauh ke belakang, ada tiga presiden lain yang menang pilpres walau kalah di popular votes yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes, dan Benjamin Harrison. Semuanya pada abad ke-19.
Sebagian dari artikel ini telah tayang di kompas.tv dengan judul Polisi Tangkap Pengunjuk Rasa di Berbagai Kota di Amerika