Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pangkalan Udara China di Kepulauan Spratly Dinilai Terlalu Rentan Serangan Musuh

China selama bertahun-tahun menguasai terumbu karang dan atol Kepulauan Spratly yang disengketakan sejak 2015. Vietnam dan Filipina ikut mengklaimnya.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Pangkalan Udara China di Kepulauan Spratly Dinilai Terlalu Rentan Serangan Musuh
KEENAN DANIELS / US NAVY / AFP
Angkatan Laut Amerika Serikat, pada Selasa (7/7/2020) merilis foto armada laut AS di Pasifik. Di barisan depan dua kapal induk, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan. 

TRIBUNNEWS.COM, HONGKONG –  Pangkalan udara militer China yang dibangun di Laut Cina Selatan dinilai rentan serangan, dan tidak terlampau berguna jika pecah perang besar.

Fasilitas militer di Kepulauan Spratly yang disengketakan itu telah membuat khawatir AS dan negara-negara yang terlibat sengketa wilayah di Laut China Selatan.

Majalah bulanan militer “Naval and Merchant Ships” yang terbit di Beijing, mengulas ukuran dan lokasi pangkalan itu, yang membuat mereka sulit untuk dipertahankan.

Landasan udaranya terlalu kecil untuk dapat digunakan secara efektif. Ulasan majalah itu dikutip South China Morning Post (SCMP), Minggu (6/12/2020).

Artikel di SCMP ini ditulis Kristin Huang, reporter senior desk China yang fokus isu diplomasi dan pertahanan.

Huang bergabung ke SCMP pada 2016. Sebelumnya ia reporter Kantor Berita China Review. Kristin memiliki minat pada isu keamanan Asia timur laut dan militer China.

Baca juga: Kandidat Menhan AS Usulkan AL Amerika Harus Tenggelamkan Semua Kapal China di Laut China Selatan

Baca juga: Konflik di Laut China Selatan, Indonesia Minta Semua Negara Menahan Diri

Baca juga: Kemenangan Joe Biden Diharapkan Bisa Akhiri Konflik di Laut China Selatan

Pangkalan yang benar-benar baru dibuat di pulau-pulau buatan China di Spratly, dianggap tak berkontribusi banyak pada misi tempur apa pun.

BERITA TERKAIT

China selama bertahun-tahun mengubah terumbu karang dan atol yang didudukinya di Kepulauan Spratly yang disengketakan sejak 2015.

Peta Laut China Selatan yang diklaim sebagai milik China (bergaris merah)
Peta Laut China Selatan yang diklaim sebagai milik China (bergaris merah) (United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS))

Gugusan karang itu diubah jadi pulau buatan. Di atasnya, militer China membangun lapangan terbang dan fasilitas militer lainnya.

Mereka juga menempatkan peralatan tempur, seperti senjata anti-pesawat dan sistem senjata jarak dekat. Informasi itu diungkapkan lembaga pemikir AS, Pusat Studi Strategis dan Internasional.

Langkah-langkah ini meningkatkan kecemasan di antara Negara yang mempersengketakan wilayah gugusan karang itu, seperti Vietnam dan Filipina.

Mereka khawatir pembangunan fasilitas militer itu memungkinkan Beijing menyerang pesawat tempur atau menembak jatuh rudal mereka dari fasilitas tersebut.

Ulasan majalah Naval and Merchant Ships secara khusus menyoroti kelemahan pulau-pulau buatan di empat wilayah di gugusan karang dan atoll Spratly.

Mulai jaraknya dari daratan, ukurannya yang kecil, kapasitas landasan udara yang terbatas, dan banyak rute terbuka bisa dipakai sebagai jalur penyerangan.

Majalah yang diterbitkan China State Shipbuilding Corporation, yang membuat kapal untuk angkatan laut China, juga memperingatkan mereka belum mencapai kemampuan ofensif yang signifikan.

Pulau-pulau buatan ini memiliki keuntungan unik dalam menjaga kedaulatan Tiongkok dan mempertahankan kehadiran militer di laut dalam, tetapi mereka memiliki kelemahan alami dalam pertahanan diri.

Majalah itu menyebut pulau-pulau itu jauh di tengah Laut Cina Selatan, dan jauh dari daratan Cina. Mereka memperingatkan tidak ada rantai koheren yang menghubungkan mereka.

Jadi posisi itu akan sulit memberikan dukungan jika ada yang menyerang. Fiery Cross Reef, yang sudah ada landasan pacu untuk pesawat, tetapi jaraknya 1.000 km (600 mil) dari kota Sanya di Provinsi Hainan.

Jarak itu membuat kapal tempur pendukung tercepat milik China membutuhkan lebih dari 20 jam untuk mencapai pulau itu.

Artikel majalah itu juga menyatakan pulau-pulau itu terlalu jauh untuk pangkalan J-16, pesawat tempur multi-peran paling canggih di China, secara efektif.

Para prajurit tidak dapat berpatroli di daerah tersebut karena factor jarak, dan dapat secara mudah dicegat atau diserang kapal perang.

Sebagian besar pulau hanya memiliki satu landasan pacu dan tidak memiliki ruang untuk menyediakan fasilitas untuk mendukung lebih dari satu pesawat sekaligus.

Jika terjadi konflik, ini berarti pesawat yang sedang bongkar muat harus tetap berada di landasan pacu setiap saat, mencegah pesawat lain menggunakannya.

Landasan udara juga terlampau dengan air laut, dan itu membuat armada mudah rusak akibat pasang surut dan cuaca tropis.

Majalah itu juga merilis kelemahan, pulau buatan itu terlalu kecil mempertahankan diri dari serangan besar. Sebagian besar pulau itu datar dan memiliki vegetasi atau bebatuan yang sangat terbatas.

Ini berarti hanya ada sedikit perlindungan terhadap serangan. Hal terbaik yang dapat dilakukan militer China melindungi peralatan dan logistic adalah membangun perlindungan dari baja.

Artikel itu di majalah itu juga memperingatkan pulau-pulau terdekat dikontrol negara-negara lain yang mengklaim hak di Laut China Selatan.

Jika AS mendukung Filipina atau Malaysia dalam konflik apa pun, maka ada banyak pilihan target serangan yang diarahkan ke instalasi militer China.(Tribunnews.com/SCMP/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas