Iran Tolak Pembicaraan atau Pihak Baru dalam Kesepakatan Nuklir
Kementerian Luar Negeri Iran menolak negosiasi atau pihak baru dalam kesepakatan nuklir Teheran dengan kekuatan dunia.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
"Senjata Prancis, bersama dengan senjata Barat lainnya, tidak hanya menyebabkan pembantaian ribuan orang Yaman, tetapi juga menjadi penyebab utama ketidakstabilan regional," tambahnya.
Awal bulan ini, Iran kembali memperkaya uranium hingga 20 persen di pabrik nuklir bawah tanah Fordow, tingkat yang dicapai sebelum kesepakatan.
Parlemen Iran, yang didominasi oleh kelompok garis keras, mengeluarkan undang-undang bulan lalu yang memaksa pemerintah untuk memperkuat sikap nuklirnya jika sanksi AS tidak diturunkan dalam dua bulan.
Menlu AS Tuntut Iran Patuhi Kesepakatan Nuklir
Diberitakan Tribunnews sebelumnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken berpegang teguh pada sikapnya bahwa Teheran harus kembali mematuhi kesepakatan nuklir Iran sebelum Washington akan kembali ke pakta tersebut.
Hal ini merupakan pernyataan perdana Blinken sebagai Menteri Luar Negeri AS yang baru terkait isu Iran, seperti dilansir Reuters, Kamis (28/1/2021).
Blinken menegaskan kembali kebijakan Presiden AS Joe Biden "bahwa jika Iran kembali mematuhi sepenuhnya kewajibannya di bawah JCPOA, Amerika Serikat akan melakukan hal yang sama."
Kesepakatan nuklir, yang secara resmi disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), disepakati oleh Iran dan enam kekuatan utama pada 2015 lalu.
Baca juga: Sosok Antony Blinken, Menteri Luar Negeri Baru AS yang Ingin Pulihkan Dominasi AS di Dunia
Baca juga: Menlu Blinken: AS Akan Bersama Negara-negara Asia Tengara Lawan Tekanan China
Saat itu Iran berkomitmen untuk membatasi program nuklirnya sebagai imbalan atas keringanan sanksi dari Amerika Serikat dan negara lainnya.
Presiden Donald Trump meninggalkan kesepakatan ini pada 2018 dan menggantikannya dengan sanksi AS, dan membuat Iran mulai melanggar ketentuannya.
Jika Iran kembali ke kesepakatan itu, Washington akan berusaha membangun apa yang disebut Blinken sebagai "perjanjian yang lebih lama dan lebih kuat" yang akan menangani masalah "yang sangat problematis" lainnya.
Dia tidak menyebutkan masalah yang nama, tetapi Biden telah mengatakan masalah-masalah yang dimaksud termasuk pengembangan rudal balistik Iran dan dukungan Iran untuk pasukan proksi di negara-negara seperti Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman.
Baca juga: Pejabat Senior Teheran: Oposisi Iran dan Israel Dicurigai dalam Kasus Pembunuhan Ilmuwan Nuklir
"Iran tidak patuh pada sejumlah hal dan itu akan memakan waktu, jika Iran sedia mengambil keputusan untuk melakukannya, untuk kembali patuh, saatnya bagi kami kemudian untuk menilai apakah Iran memenuhi kewajibannya," kata Blinken kepada wartawan.
"Kami masih belum ke sana, sedikitnya," tambahnya.
Dia menolak untuk mengatakan pejabat AS mana yang akan memimpin pembicaraan dengan Iran.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)