Presiden AS Joe Biden Umumkan Sanksi Baru Terhadap Para Jenderal Myanmar yang Lakukan Kudeta
Biden mengatakan pemerintahannya akan memutus akses keuangan para pemimpin militer Myanmar ke dana 1 miliar dolar AS.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Rabu (10/2/2021) mengumumkan sanksi baru AS terhadap jenderal Myanmar setelah militer menahan para pemimpin terpilih dan merebut kekuasaan pada Senin (1/2/2021).
Biden mengatakan pemerintahannya akan memutus akses keuangan para pemimpin militer Myanmar sebesar 1 miliar dolar AS.
Biden menjelaskan AS akan segera mengumumkan sanksi baru terhadap Myanmar setelah terjadi kudeta dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dekat dengan pemimimpin sah yang digulingkan, Aung San Suu Kyi.
"Kami akan mengidentifikasi target pertama minggu ini, dan kami juga akan memberlakukan kontrol ekspor yang kuat," kata Biden, seperti dilansir Reuters, Kamis (11/2/2021).
"Kami membekukan aset AS yang menguntungkan pemerintah Myanmar, sambil mempertahankan dukungan kami untuk layanan kesehatan, kelompok masyarakat sipil, dan daerah lain yang menguntungkan masyarakat Myanmar secara langsung."
Baca juga: Lagi, Militer Myanmar Tangkap Orang Dekat Aung San Suu Kyi
Militer Myanmar menangkap para pemimpin sipil, termasuk penerima Nobel Aung San Suu Kyi, dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun, Junta militer menuduh tanpa bukti Suu Kyi dan partainya melakukan kecurangan pemilu pada November lalu.
Namun Komisi pemilihan umum menolak tuduhan militer tersebut.
“Amerika Serikat akan siap memberlakukan langkah-langkah tambahan dan akan bekerja sama dengan negara-negara lain untuk bergabung dalam menekan para pelaku kudeta,” kata Biden.
Amerika Serikat kemungkinan akan menargetkan panglima tertinggi, Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta. Min Aung Hlaing dan jenderal lainnya sudah berada di bawah sanksi AS yang diberlakukan pada 2019 atas pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya.
Amerika Serikat juga bisa menargetkan dua konglomerat utama militer. Myanmar Economic Holdings Limited dan Myanmar Economic Corp adalah perusahaan induk dengan investasi yang mencakup berbagai sektor termasuk perbankan, permata, tembaga, telekomunikasi, dan pakaian.
Pemerintahan Biden telah berupaya membentuk respons internasional terhadap krisis, termasuk dengan bekerja sama dengan sekutu di Asia yang memiliki hubungan lebih dekat dengan Myanmar dan militernya.
Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan rekannya dari Jepang Toshimitsu Motegi setuju untuk mendesak pihak berwenang Myanmar segera menghentikan kekerasan mereka terhadap demonstran, menurut sebuah pernyataan dari kementerian luar negeri Jepang pada Rabu waktu AS.
Masih Lakukan Penangkapan Terhadap Orang Dekat Suu Kyi
Junta militer Myanmar masih terus melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dekat dengan pemimimpin sah yang digulingkan, Aung San Suu Kyi.
Teranyar Reuters melaporkan, Kamis (11/2/2021), militer Myanmar menangkap orang dekat Suu Kyi, Kyaw Tint Swe.
Kyaw Tint Swe ditahan Rabu (10/2/2021) malam dalam gelombang baru penangkapan menyusul kudeta militer pekan lalu, kata seorang pejabat partai Liga Nasional Untuk Demokrasi Suu Kyi dalam sebuah postingan di Facebook, seperti dilansir Reuters, Kamis (11/2/2021).
Kyaw Tint Swe telah menjabat sebagai Menteri Kantor Konselor Negara di bawah pemerintahan Suu Kyi, yang telah ditahan sejak kudeta 1 Februari lalu.
Anggota komite informasi NLD Kyi Toe mengatakan Kyaw Tint Swe dan empat lainnya telah dijemput dari rumah mereka.
Pihak berwenang Myanmar tidak segera menanggapi permintaan komentar dan Reuters dan tidak dapat mengkonfirmasi terkait penangkapan tersebut. Sejumlah pejabat telah ditahan sejak kudeta.
Sebelum itu tokoh terkemuka lainnya di Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang mengusung Suu Kyi, Win Htein.
Hal itu disampaikan langsung oleh Win Htein kepada Reuters pada Jumat (5/2/2021) bahwa ia telah ditangkap setelah kudeta minggu ini bahkan ketika Dewan Keamanan PBB menyerukan agar para tahanan dibebaskan.
Win Htein (79) adalah seorang pendukung Suu Kyi dan tahanan politik yang selama puluhan tahun berkampanye untuk mengakhiri pemerintahan militer.
Ia mengatakan kepada Reuters melalui telepon bahwa dirinya dibawa oleh petugas polisi dengan mobil dari Yangon ke ibukota, Naypyidaw.
Dia tidak mengatakan tuduhan apa yang akan dia hadapi.
"Kami telah diperlakukan buruk, terus menerus untuk waktu yang lama. Saya tidak pernah takut pada mereka karena saya tidak melakukan kesalahan sepanjang hidup saya," tegasnya.
Pemimpin terpilih Suu Kyi telah ditahan sejak Senin, ketika dia digulingkan oleh militer atas dalih melakukan kecurangan Pemilu November lalu.
Dia juga menghadapi tuduhan mengimpor enam radio walkie-talkie secara ilegal, berdasarkan dokumen polisi.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan pembebasan Suu Kyi dan tokoh sipil lainnya yang ditahan dan menyuarakan keprihatinan atas situasi di Myanmar.
Sekitar 147 orang telah ditahan sejak kudeta militer berlangsung, termasuk aktivis, anggota parlemen dan pejabat dari pemerintahan Suu Kyi, demikian Asosiasi Bantuan Myanmar untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan pada Kamis (4/2/2021).
Junta Militer Myanmar Blokir Facebook
Junta militer Myanmar memblokir Facebook demi memastikan stabilitas pada Kamis (4/2/2021).
Pesan WhatsApp Facebook juga diblokir, demikian dilaporkan Reuters, Kamis (4/1/2021).
Pemblokiran Facebook diambil junta militer ketika setidaknya tiga aktivis ditangkap pada unjuk rasa memprotes kudeta yang menggulingkan pemerintahan di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi.
Penentangan terhadap junta militer telah muncul sangat kuat di Facebook, yang merupakan platform internet utama negara itu dan mendukung komunikasi untuk bisnis dan pemerintah.
Facebook masih bisa diakses dengan cara tertentu. Demonstran di kota Mandalay menggunakan Facebook untuk melakukan livestreaming aksi protes massal pertama menentang kudeta.
"Protes rakyat terhadap kudeta militer," tulisan salah satu spanduk.
Demonstran meneriakkan: "Pemimpin kami yang ditangkap, lepaskan sekarang, lepaskan sekarang."
Tiga orang ditangkap, kata tiga kelompok mahasiswa ditempat terpisah. Reuters tidak dapat menghubungi polisi untuk berkomentar.
Usai ditahan militer, kini penerima Nobel Perdamaian Suu Kyi menghadapi tuduhan mengimpor peralatan komunikasi secara ilegal.
Jejaring sosial ini juga telah digunakan untuk berbagi gambar Gerakan Ketidakpatuhan oleh dokter dan tenaga medis di rumah sakit pemerintah di seluruh negeri. Para dokter melakukan aksi mogok kerja dan mengenakan pita warna merah partai Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi.
Gambar yang dibagikan di Facebook pada Rabu (3/2/2021), menunjukkan para pekerja di kementerian pertanian bergabung dalam gerekan tersebut.
Tanda-tanda kemarahan warga lainnya telah muncul. Selama dua malam, orang-orang di Yangon dan kota-kota lain telah memukul-mukul panci dan wajan serta membunyikan klakson mobil. Gambar aksi ini beredar luas di Facebook.
"Lampu bersinar dalam gelap," kata Min Ko Naing, seorang veteran masa lalu melawan pemerintahan militer.
"Kita perlu menunjukkan berapa banyak orang yang menentang kudeta yang tidak adil ini."
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan Facebook, yang digunakan oleh setengah dari lebih dari 53 juta penduduk Myanmar, akan diblokir hingga 7 Februari karena pengguna "menyebarkan berita palsu dan informasi yang salah serta menyebabkan kesalahpahaman".
Suu Kyi tidak terlihat sejak penangkapannya bersama dengan para pemimpin partai lainnya.
NLD memenangkan sekitar 80% suara dalam pemungutan suara 8 November lalu, menurut komisi pemilihan umum Myanmar.
Hasil ini ditolak militer dan menyatakan tuduhan kecurangan yang tidak berdasar.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan akan menaikkan tekanan internasional untuk memastikan hak rakyat dihormati.
"Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk memobilisasi semua aktor kunci dan komunitas internasional untuk memberikan tekanan yang cukup pada Myanmar untuk memastikan bahwa kudeta ini gagal," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat diwawancarai yang disiarkan The Washington Post, Rabu (3/2/2021). (Reuters/Washington Post)