Enam Bulan Hilang, Sekeluarga Asal Sudan Ditemukan Tewas di Tengah Gurun Libya
Titik penemuan ini letaknya 400 kilometer barat daya kota Kufra, Libya. Mayat tiga wanita dan lima pria ditemukan tewas di tempat kejadian.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Abdi memperhitungkan mereka berjumlah setidaknya 100 atau lebih. Keesokan paginya, perahu karetnya kemps.
Mereka berdebat tentang apakah akan terus melanjutkan atau menunggu kapal yang mereka lihat di kejauhan.
Jika beruntung, kapal itu adalah orang Eropa - bahkan mungkin salah satu kapal penyelamat yang mencari di perairan antara Libya dan Eropa.
Tetapi jika kapal itu adalah orang Libya, mereka khawatir, mereka mungkin akan lenyap ke dunia penyelundupan dan perdagangan manusia lagi.
Ternyata, kapal itu milik Penjaga Pantai Libya. Rombongan imigran itu diselamatkan dan dikirim ke pusat detensi Tajoura, sebelah timur Tripoli.
Abdi menemukan secercah harapan setelah mendengar pusat penahanan itu dalam pantauan lembaga PBB. Situasi di pusat penahanan lebih baik ketimbang di tangan penyelundup.
Setiap hari pintu terbuka tiga kali untuk makan, selalu sama dan tidak pernah cukup. Roti untuk sarapan, pasta yang diolesi saus tomat encer untuk makan siang dan makan malam, dan air untuk diminum. Untuk mendapatkan makanan lebih banyak atau lebih baik, mereka harus melarikan diri dari bangsal. Hanya sedikit dari mereka yang berhasil.
Ada tahanan yang dipilih penjaga untuk bekerja di kompleks, biasanya orang Sudan yang berbicara bahasa Arab.
Ada yang terpilih untuk pekerjaan yang diidamkan di kantor dan dapur. Mereka yang dipilih atau dipaksa bekerja di luar Tajoura, yang mungkin dibayar dengan makanan atau rokok.
Pada malam hari, Abdi akan mencari tempat di lantai dan membaringkan kasurnya. Udara sangat panas hingga terkadang para pria tidak bisa tidur.
Pada akhir musim panas 2018, berbagai milisi bertempur satu sama lain di Tripoli, dan terjadi peningkatan tajam aktivitas di garasi kendaraabn.
Kadang-kadang milisi membangunkan Abdi dan tahanan lainnya di sana pada larut malam, dan bahkan bekerja bersama mereka, menggosok dan mencuci dan memindahkan senjata dan amunisi.
Senjata-senjata itu sebagian besar adalah senapan mesin berat 14,5 milimeter yang dipasang oleh para milisi di pikap mereka.
Setelah beberapa minggu, pertempuran berakhir. Suatu hari Oktober 2018, pejabat badan pengungsi PBB mengunjungi Tajoura dan mendaftarkan ratusan tahanan.
Kali ini Abdi ada di antara mereka, beberapa bulan setelah kedatangannya. Kemudian, pada April 2019, Jenderal Haftar memulai perang melawan pemerintah Tripoli.
Abdi membantu membersihkan senjata dan tank, seperti sebelumnya. Kali ini, milisi juga membawanya untuk bekerja di garis depan.
Mereka mengirimkan air dan makanan seperti roti, selai, dan madu, dan dia melihat tahanan lain membersihkan ceceran darah dari kendaraan yang habis dipakai bertempur.
Roket berjatuhan di medan tempur Tripoli. Suatu hari, Abdi melarikan diri dari Tajoura karena ketakutan pusat detensi itu akan jadi korban pertempuran.
Enam minggu setelah Abdi melarikan diri dari Tajoura, serangan udara meratakan sebagian besar bangsal tahanan imigran.
Sedikitnya 53 tahanan berbagai Negara yang bertahan di lokasi itu tewas, dan sejumlah lainnya dilaporkan terluka.
Abdi kini sudah keluar dari Libya, di tempat baru yang menjanjikan masa depan lebih baik. Tapi istri dan anak-anaknya dalam penguasaan orang lain.(Tribunnews.com/Alaraby.co.uk/HRW/xna)